Monday, February 26, 2007

HAKIKAT JIHAD


             Orang yang menghayati sunah dan sirah Nabi saw. akan menemukan beberapa hadits yang mengungkap hakikat jihad yang ditanamkan Rasulullah saw. dalam jiwa para sahabat ra. Semua tertera dengan jelas tanpa ada kesamaran sedikit pun. Hadits-hadits itu antara lain : 

“Tiada seorang nabi pun yang diutus sebelumku, kecuali mempunyai beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti; mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya, maka dia mukmin, barangsiapa yang berjihad kepada mereka dengan lisannya maka dia mukmin, barangsiapa yang berjihad kepada mereka dengan hatinya maka dia mukmin, dan tiada keimanan detelah itu meskipun seberat dzarrah (benda yang amat kecil).”  (H.R. Muslim)


 “Setiap orang yang mati amalnya berakhir, kecuali orang yang mati berjaga (murabith) di jalan Allah; amalnya dikembangkan sampai hari kiamat dan ia mendapatkan rasa aman dari fitnah kubur. Mujahid adalah orang yang berjihad kepada jiwanya.” (H.R. At-Tirmidzi)


 Dari Fudlalah bin ‘Ubaid ra. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian kuberitahu tentang orang mukmin? Yaitu seseorang yang yang orang lain merasa aman atas harta dan jiwa mereka dari (gangguan)nya. Orang muslim adalah seseorang yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap jiwanya untuk menaati Allah. Muhajir adalah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya.” (H.R. Ahmad)


 Dari Fudlalah bin ‘Ubaid ra. rasulullah saw. bersabda, “Mujahid adalah orang yang berjihad di jalan Allah ‘Azza wa jalla.” (H.R. Ahmad)


 Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. Rasulullah saw. bersabda, “Seutama-utama jihad adalah kalimah yang adil di hadapan pemimpin atau penguasa yang zalim.” (H.R. Abu Dawud)


 Zaid bin Khalid ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membekali orang yang berperang di jalan Allah, maka sesuangguhnya ia telah berperang. Barangsiapa mengurusi keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka sesungguhnya ia telah berperang.” (H.R. Bukhari)


 Abu Hurairah ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mati dan belum berjihad, serta tidak berniat untuk berperang, maka ia mati dengan membawa satu cabang kemunafikan.” (H.R. Muslim)


 Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang memohon syahid di jalan Allah dengan tulus, maka Allah menyampaikannya ke derajat para syuhada, meskipun ia mati di tempat tidurnya.” (H.R. Muslim)


             Hadits-hadits Rasulullah saw. tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa hakikat jihad yang ditanamkan Rasulullah saw. dalam jiwa para sahabat tidak hanya terbatas pada makna mengalahkan musuh dengan sebagian cara fisik, seperti tebasan pedang, tusukan tombak, lemparan panah dan sejenisnya –sebagaimana dipahami sebagian kaum muslimin yang berpikiran picik dan sedikit wawasannya. Jihad memiliki makna lebih mendalam, cakupannya lebih menyeluruh, dan wilayah yang lebih luas.


              Hakikat jihad yang disebutkan pada hadits-hadits di atas berkisar pada “Pencurahan potensi dan kemampuan secara maksimal untuk membebaskan seluruh dunia dari kekuasaan thaghut yang menjadi tandingan kekuasaan Allah swt.” Dengan demikian, ia mencakup jihad kepada jiwa, sehingga tarbiyah ilahiyah yang diberikan kepada Jamaah Islam generasi pertama berkisar pada masalah ini.


 “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan melebihi (takutnya kepada Allah). Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami. Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi!’ Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun’.” (An Nisaa: 77)


             Demikianlah, karena sesungguhnya sunnah Ilahiyah dalam perubahan selalu bermula dari perubahan jiwa.


 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan yang ada dalam jiwa mereka.” (Ar-Ra’d: 11)  


            Hakikat jihad mencakup jihad terhadap orang lain dengan tangan, lisan, dan hati. Membekali orang-orang yang yang berperang, mengurus kebutuhan keluarga dan anak-anak mereka; baik mereka yang berperang akan pulang atau tidak karena bertemu dengan Tuhannya. Bahkan, lebih dari itu jihad juga mencakup sikap menghadirkan niat untuk berjihad dan berperang selama mata masih berkedip, selama nadi masih bersenyut. Namun, syaratnya adalah niat itu dibuktikan dengan mempersiapkan segala perbekalan dan segala hal yang dibutuhkan dalam jihad, dalam bentuk aktivitas nyata. 


            Jenis jihad dan ribath yang dituntut Islam sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang dihadapi generasi manusia di setiap masa juga kondisi musuh yang ada di sekitar mereka. Karena itu, seseorang yang menggeluti sebagian jenis jihad yang menjadi tuntutan zaman dan sangat dibutuhkan oleh kondisi saat itu tidak boleh dianggap sebagai qa’id (orang yang duduk-duduk saja), atau orang yang melarikan diri dari medan jihad. Bagaimana mungkin orang seperti itu disebut qa’id, sementara Rasulullah saw. Menyebutkan orang-orang mukmin yang tidak mengikuti perang Tabuk karena tidak mempunyai perbekalan, atau sakit dengan sabdanya, 


“Sesungguhnya di Madinah ada beberapa oranglelaki; tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan dan melintasi suatu lembah kecuali mereka menyertai kalian. Mereka tertahan oleh sakit.” (H.R. Muslim)


 Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi, “Sesungguhnya beberapa kaum yang tertinggal  di Madinah selalu menyertai kita setiap kita melewati lereng gunung dan lembah. Mereka tertahan oleh udzur.” (H.R. Bukhari) 


            Rasulullah saw. Juga pernah bertanya kepada seorang lelaki yang berbai’at kepadanya untuk hijrah dan jihad demi mencari pahala Allah, ”Apakah salah seorang dari orang tuamu masih hidup?” Orang itu menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. Bertanya, “Engkau ingin mencari pahala dari Allah ta’ala?” Orang itu menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. Bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, dan pergaulilah mereka dengan baik!” Dalam riwayat lain dengan redaksi, “Berjihadlah (dengan berbakti) kepada keduanya!” (H.R. Bukhari)


 


(dikutip dari buku ”Membangun Kader Militan”, Dr. Sayyid Muhammad Nuh)

Membaca-Menulis, Emang Mirip Pencernaan Ya …


Oleh : Cahya Herwening

Pernyataan seperti ini pernah dinyatakan oleh satu atau beberapa ahli di bidang pengembangan diri, khususnya aktivitas mambaca dan menulis. Bahwa aktivitas membaca dan menulis itu mirip dengan proses pencernaan makanan. Tentang ini, saya pernah membacanya, salah satunya dalam buku "Mengikat Makna" karya Hernowo. Beliau, Hernowo, juga pernah mengajar mata kuliah Digesting pada sebuah sekolah tinggi di Bandung. Dan dalam bahasa Indonesia, digesting itu berarti pencernaan.
Ketika dulu kita duduk di bangku SMP maupun SMU, pada pelajaran biologi kita telah dijelaskan tentang bagaimana proses pencernaan itu berlangsung. Mula-mula makanan dimasukkan ke mulut dan mengalami pencernaan secara mekanis, oleh gigi, dan pencernaan kimiawi oleh enzim ptialin. Setelah dikunyah, makanan masuk ke lambung melalui kerongkongan. Di lambung dan juga di usus dua belas jari, makanan mengalami pencernaan secara kimiawi dengan enzim yang khusus bekerja pada macam zat gizi tertentu. Kemudian sari makanan dan nutrisi diserap oleh usus halus kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Sisa-sisanya atau ampasnya, akan dibuang melalui usus besar kemudian anus.
Dari sari makanan yang diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh, akan menghasilkan energi dari proses yang terjadi di dalam mitokondria. Energi itu kemudian kita gunakan untuk beraktivitas. Jika tidak atau belum diperlukan untuk aktivitas, maka nutrisi akan disimpan dalam jaringan tubuh. Misalnya glukosa diubah menjadi glikogen, asam lemak menjadi lemak, dan seterusnya.
Analog dengan proses itu, saat kita membaca, kita memberikan input makanan pada otak kita. Dari bahan bacaan yang merupakan ‘makanan’ kita itu, setelah masuk akan diolah. Dicerna di dalam ‘alat pencernaan’ pengetahuan, yakni otak manusia. Dari hasil proses ‘pencernaan’ itulah kita akan memperoleh kesimpulan baru, wawasan baru, atau sistematika pengetahuan yang kemudian disimpan rapi dalam memori kita. Pengetahuan dan ilmu itu disimpan dalam ingatan kita, dan siap di-recall jika sewaktu-waktu diperlukan. Namun, jangan sampai pengetahuan yang tersimpan dalam memori ini dibiarkan begitu saja, tanpa sering digunakan. Jika seperti itu, suatu saat memori itu akan mengalami obsolete dan lama-kelamaan akan mengalami degradasi, sehingga data-data pengetahuan itu akan lenyap sedikit demi sedikit.
Sebagaimana jika dianalogikan kembali dengan pencernaan. Bila cadangan energi dalam bentuk simpanan nutrisi itu disimpan saja, tidak digunakan untuk beraktivitas maka akan terdapat timbunan nutrisi yang nantinya membuat keseimbangan dalam tubuh kita terganggu. Katakanlah sebagai contoh, nanti bisa jadi akan mengalami obesitas karena timbunan lemak yang berlebihan. Justru yang seperti ini tidak sehat. Lain halnya jika digunakan untuk bekerja, maka yang terjadi adalah penguatan otot dan organ, karena jaringan tubuh bekerja, sehingga dapat memperkuat tubuh itu sendiri.
Maka, dalam aktivitas membaca pun perlu penyeimbangan dengan aktivitas lain yang merupakan aktivitas kerja untuk menyalurkan ‘energi’ berupa ilmu dan pengetahuan itu. Dan aktivitas itu tiada lain adalah aktivitas menulis.
Menulis dikatakan oleh beberapa tokoh sebagai upaya mengikat makna. Ilmu yang tidak direkam dalam tulisan akan cepat hilang. Dengan adanya aktivitas penulisan inilah, ilmu dapat dipertahankan bahkan dikembangkan sehingga saat ini manusia telah mengalami kemajuan peradaban yang luar biasa, khususnya dalam teknologinya. Itulah salah satu dampak dahsyat dari aktivitas menulisnya manusia.
Menulis juga akan membantu aktivitas membaca. Bagi yang kerjanya hanya membaca saja, maka suatu saat akan mengalami kejenuhan dan kebosanan. Hal ini dapat di-refresh dengan menuliskan apa saja yang ada dibenaknya saat itu. Apa saja yang terekam dalam pikirannya, yang diperolehnya dari membaca harus dituangkan kembali dalam tulisan, yang tentunya memiliki sistematika baru, dengan adanya kombinasi pelbagai bahan bacaan.
Dengan menulis, membaca akan berarti. Dengan menulis, ilmu dan pengetahuan pun akan jauh lebih berarti. Maka … mari menulis!
Ahad Malam, 25 Februari 2007
Tulisan pembuka untuk blog baru