Wednesday, March 7, 2007

Ah, Jika saja Mereka Tahu…

            

Oleh : Cahya Herwening

Assalaamu ’alaykum...” tidak terdengar salam dari musholla bagian putri. ...............................Tidak ada jawaban. Gak kedengeran sih!


            Thok...thok...thok.....!!


            “Assalaamu ‘alaykum....” kali ini
terdengar, karena lebih keras dan didahului ketukan keras pada hijab pembatas.


            “Eh....
Wa ’alaykumussalaam wa rahmatullaah...”
jawab Hasan setelah bergegas mendekati sumber suara.


            “Ini siapa ya?” sambut suara yang sama
dengan yang mengucap salam.


            “Lho??”
Hasan mengerutkan kening, “...lha kamu nyari
siapa, kok malah nanya?”


            “Emm.... ini Rena sama Maya. Yang di situ siapa?” sahut suara yang
mengaku bernama Rena.


            Hasan
manggut-manggut, ”Oo Rena..., saya Hasan.
Ada apa?”


            ” Mmm... Pak Hasan, boleh minta bantuan ndak?” tanya Rena.


            ”Ada
apa?” tanya Hasan. Agak merasa aneh, malam-malam seperti ini kok masih ada anak
perempuan ’berkeliaran’ di kampus.


            ”Boleh
minta bantuan kan?”


            ”Iya...iya...,
langsung aja to. Ada apa sih?” sergah
Hasan, agak mulai tidak sabar.


            ”Gini,
Pak. Ini kan sudah malam, kan nggak
baik bagi akhwat kalau malam-malam di jalan. Bisa minta tolong dianter nggak?” jawab Rena.


            ”Eh...iya, kok bisa, malam-malam begini kalian
masih di kampus? Sudah hampir jam sembilan lho.” Yang ditanya balik bertanya.


            ”Tadi
kan praktikum, lama soalnya sempat ngulangi
eksperimennya, prosedurnya ada yang salah sih. Selesainya sekitar setengah
delapanan. Lalu membahas laporan sementara dan perhitungan.
Jadi ya sampai jam segini. Pak Hasan bisa
nganter kami kan?” Rena menjelaskan keadaan mereka. Dari tadi Rena terus yang
bicara. Sepertinya memang jadi juru bicaranya nih. Eh, ngerasa ada yang janggal nggak
sih, Hasan yang masih muda gitu
dipanggil ’Pak’? Tidak ada penjelasan khusus mengenai ini sih, cuma kebiasaan anak-anak musholla aja kalau memanggil yang laki-laki dengan sebutan Pak.


            Hasan
berpikir sejenak, ”Hmm... dianter ke mana ya?”


            ”Ke
Daarus-Sholihat....” jawab Rena. Daarus-Sholihat (DS) adalah salah satu
pesantren mahasiswi di Yogyakarta, letaknya cukup dekat dengan kampus UGM. Setiap
tahun ada saja mahasiswi yang sekaligus menjadi santri di pesantren ini. Sampai
saat ini pesantren mahasiswi itu masih di bawah pengelolaan dan pembinaan
Ustadz Syathori Abdurrouf. Kalau tidak salah slogan pesantren itu seperti ini;
”Melabuh Damai Menggapai Ridhlo Ilahi”. Keren yah?


            ”Ooo...mmm...
emangnya harus dianter ya?” tanya Hasan
kayak orang bego.


            ”Iya, kan nanti lewat persawahan juga, di sana
tuh gelap dan sepi. Nanti kalau....” kembali Rena menjelaskan kekhawatiran jika
mereka berjalan sendiri tanpa ada yang mengawal.
Kemungkinan bahaya yang ada memang cukup besar.


            ”Eh...kan
bisa lewat utara kan? Lewat Jakal lalu Ring road, kan ada jalan serong ke kiri
tuh yang tembusan selokan. Ke Daarus-Sholihat bisa lewat sana kan?” Ah, kayaknya Hasan emang bodoh tuh.


            Entah
kenapa Hasan saat itu kurang sensitif. Terlalu bertele-tele, tidak sigap dalam
memberikan bantuan. Padahal dalam keadaan seperti itu, harusnya dia langsung
tanggap, bahwa keselamatan wanita dipertaruhkan. Secara hukum syar’i, wanita
kan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi mahramnya. Apalagi ini
malam-malam, sudah cukup larut lagi. Seharusnya dia sadar akan hal itu kemudian
segera mengantar mereka tanpa banyak bicara lagi. Mungkin sedang lupa. Tapi,
bisakah dimaklumi?


            ”Eh...
saya kan sama Larso nih...
kalau
Larso aja yang ngantar gimana?” Huuhh... kok Hasan ’jual mahal’ banget sih? C
uma diminta nganter gitu aja kok...


            Hasan
segera mendatangi tempat Larso sedang duduk santai. ”Hei... Larso, bisa nggak nganter Rena sama Maya, ke
Daarus-Sholihat?”


            ”Di
mana tuh Mas?” tanya Larso. Mukanya terlihat gimana gitu, kelihatan banget kalau nggak minat, alias keberatan bin
tidak mau.


            Hasan
segera menjawab, ”Dekat Ring Road, Jakal ke Barat. Nanti kamu ngikutin mereka aja. Arah rumah kamu juga ke sana kan?”


            ”Eh...nggak je Mas, saya ke selatan tuh.”
sahut Larso.


            ”Tapi
bisa kan?” Hasan bertanya dengan agak menekan.


            ”Emmm... Mas aja deh. Kan sudah tahu tempatnya.” Larso menyatakan ketidak
sanggupan, dari tadi mukanya menyiratkan kalau memang tidak mau.


            Hasan
berfikir sebentar. ”Ya sudah, biar aku saja.” Segera Hasan kembali ke tempat
dua cewek kemaleman tadi menunggu. Tidak kelihatan kayak apa wujud mereka, soalnya memang di musholla itu dipasang hijab, untuk menghalangi pandangan antara
bagian putra dan bagian putri.
Kata anak-anak musholla, menjaga pandangan tuh perintah Allah, apalagi di tempat ibadah seperti ini. Biar
hati dan niat kita lebih bersih. Begitu kata mereka, yang lebih sering memakai
istilah ghadul bashar daripada
menjaga pandangan. Kalau orang awam yang gak
ngarti al lughotu al Arabiyyah
(baca aja : bahasa Arab), bisa-bisa kepleset jadi ”gundul bagor”. He...
he... he..... bodoh!


            ”Rena...”
panggil Hasan.


            ”Ya?
Gimana, Pak?” tanya Rena dengan nada berharap.


            ”OK.
Biar saya deh, yang akan nganter kalian,
saya tunggu di gerbang depan ya?” Akhirnya... Hei Hasan, dari tadi kek, mau nganternya. Apa sih yang bikin
lu
bodoh kayak tadi??


            ”Alhamdulillaah....” kata mereka
bersamaan, terdengar lega. ”... kami ngambil
motor di parkiran dulu ya.” kata Rena.


            Hasan berjalan menuju gerbang timur fakultas
Teknologi Pertanian (TP) UGM.
Hari itu adalah salah satu hari dimana Hasan harus pulang malam. Jarang
sekali Hasan bisa pulang siang hari, bahkan tidak jarang dia harus rela tidak
pulang alias menginap. Jarak rumahnya
dengan kampus memang lumayan jauh, sehingga kalau sampai terlalu malam, Hasan
memilih menginap. Kalau pulang sia-sia, cuma numpang tidur habis itu paginya harus ke kampus lagi. Gitu katanya.
Semua itu tidak lain karena agenda, tugas dan
tanggung jawab keorganisasian yang cukup meminta waktu. Meski begitu, Hasan
merasa enjoy-enjoy saja. Bahkan katanya, yang seperti itu bisa bikin hidup
lebih hidup, daripada jadi mahasiswa yang saban hari cuma berkutat
kost-kelas-perpus-kantin. Nggak dinamis
tuh
, katanya lagi. Gak tahu, sok jadi aktivis tuh anak.


            Beberapa
saat setelah sampai di gerbang timur fakultas, terlihat pengendara motor
berboncengan. Siapa lagi kalau bukan
Rena dan Maya. Sosok mereka sekarang sudah bisa dilihat, dua orang cewek
berjilbab panjang. Cewek-cewek model begitu yang biasanya jadi aktivis musholla
di kalangan perempuan. Cewek dengan pakaian longgar dan tertutup, mengenakan
jilbab panjang dan lebar hingga sepinggang, bahkan tidak sedikit pula yang
lebih panjang dari itu. Anak-anak musholla menyebut kalangan wanita berpenampilan
seperti itu dengan sebutan akhwat.
Walaupun secara arti kata, akhwat itu berarti saudara perempuan, yang artinya
bahwa setiap perempuan muslim bisa disebut akhwat (karena setiap muslim memang
bersaudara, begitu kata salah satu hadits). Namun dalam prakteknya nyata terasa
bahwa kata itu menunjuk golongan tertentu.


            Biasanya
para akhwat diidentikkan sebagai wanita yang pemahaman keIslamannya lebih baik dari
wanita biasa. Dan juga memiliki kesadaran untuk menyebarkan pemahaman itu
kepada yang lain (berda’wah) melalui berbagai sarana yang ada. Salah satunya
yang pasti lewat Lembaga Da’wah tentunya. Untuk diketahui saja, Lembaga Da’wah
tingkat fakultas di FTP UGM bernama KMMTP. Kepanjangannya sih Keluarga Mahasiswa Muslim Teknologi Pertanian. Panjang yach?


            Ketika
melihat mereka, segera Hasan berseru, ”Kalian duluan saja. Nanti tunggu saya di
gerbang utara di dekat fakultas Pertanian. Saya akan ke sana. Nanti saya ngambil motor dulu di kost teman.” Kemudian
Hasan berjalan menyusuri jalan beraspal di sebelah timur FTP ke arah utara. FTP
UGM berada satu komplek dengan beberapa fakultas lain pada rumpun yang sama,
rumpun Agrokompleks. Di sebelah timur FTP ada fakultas Pertanian, sedang di
sebelah utaranya ada fakultas Kehutanan.


            Setelah
sampai pada tempat yang dijanjikan, Hasan bertanya-tanya dalam hati, kok dua
orang tadi nggak ada?
Ke mana mereka? Jangan-jangan mereka tidak paham yang kumaksud, pikir Hasan. Tiba-tiba
HP-nya ber-tat-tit-tut, sebuah SMS masuk.


            ”Kami
tunggu di perempatan Jakal.”
Begitu bunyi SMS itu.


            Lho, tadi kan kusuruh nunggu di sini.
Gimana sih? Tapi OK deh, aku akan ngambil motor ke tempat Budi dulu
, Hasan membatin. Hasan tidak bisa membalas SMS, soalnya pulsanya
emang lagi bokek.
Biarlah
mereka menunggu sebentar
,
pikirnya. Setelah sampai di kost temannya, Budi, sambil ngobrol sedikit Hasan meminjam motor temannya sekalian.
Sebenarnya motornya pun di sana, tapi
karena lampu depan motornya mati, dan nanti juga mau pulang ke rumah, jadi
butuh motor yang lebih terjamin keamananannya.


            Setelah
pamit, Hasan berangkat secepatnya menyusul kedua akhwat tadi. Setelah sampai di
Jakal, Hasan menjalankan motor lebih pelan, mengamati di sepanjang Jalan
Kaliurang terutama di tiap perempatan. Hasan bingung, perempatan yang mana ya? Hasan
masih terus mengawasi hingga sampai ke Ring Road, kemudian belok ke kiri dan
mau masuk jalan serong. Eh, sepertinya ada bunyi tat-tit-tut. Dengan segera Hasan
mengecek HP-nya.


            ”Terima
kasih! Kami sudah sampai. Ternyata ikhwan TP nggak peka sama
keselamatan akhwat! Maaf sudah merepotkan!! ” begitu kata-kata dalam SMS itu.


            Degg!! Hasan tertegun. Membaca
ulang isi SMS itu. Hasan coba mengingat apa saja yang terjadi tadi. Beberapa
saat kemudian muncul perasaan menyesal dan sedikit terpukul dalam dirinya.
Mengapa tadi tidak segera meluluskan permintaan bantuan itu, tidak malah justru
bertele-tele dan terkesan berkeberatan? Padahal, seharusnya dia ingat bahwa
menjaga saudaranya, khususnya yang perempuan, adalah salah satu kewajibannya
selaku seorang laki-laki yang prioritas. Hasan sangat menyesal akan hal ini,
mengetahui bahwa akhirnya dua akhwat tadi harus pulang sendiri, mengetahui
bahwa bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun sekarang dia
sudah tahu bahwa mereka telah sampai dengan selamat. Tapi bagaimana dengan Maya,
dia belum tahu, soalnya dia tinggal di rumah sendiri, bukan di DS. Maya pun
hanya mengantar Rena, sedang rumahnya sendiri ada di Jakal (jalan Kaliurang) beberapa
kilometer dari Ring Road ke utara.


            Hasan menyesal, mengapa tadi mempersulit urusan. Juga mengapa tadi tidak
menjelaskan mekanismenya dengan jelas. Padahal
aku tadi sudah berniat mengantar mereka, tapi mungkin mereka kurang memahami
apa yang kukatakan tadi
, pikirnya. Meski tadi bersikap acuh dan terlihat
keberatan, sebenarnya di dasar hatinya, ada rasa cinta yang begitu besar pada
saudara seaqidahnya, tentu termasuk dua akhwat tadi. “Ah, jika saja kalian
tahu, bahwa aku rela mempertaruhkan nyawaku ini demi membela keselamatan dan
kehormatan kalian…” rutuk Hasan. ***





20
Desember 2006


Ambillah
pelajaran ini Akh!

10 comments:

  1. kasian ya si hasan. niat mo mbantu tapi karena kesannya bertele2 jadi kayak gak ikhlas gitu. padahal kan harusnya langsng tindak cepat.
    tapi maklum juga sih kalo saya jadi si hasan. mikir dulu empat enam kali baru bisa ngambil keputuzan. soale cukup membingungkan juga situazinya

    terima kasih *kayak pidato*

    ReplyDelete
  2. Iya .. kasihan tuh... T_T. Padahal memang dah niat membantu, tapi salah dimengerti...

    ReplyDelete
  3. salah sendiri siih, kebanyakan mikir si hasannya
    huehehehehe

    ReplyDelete
  4. Bukan kebanyakan mikir.... tapi karena bingung....
    Kalau bingung kan jadi gak begitu responsif, gak quick thinking.
    Gitu.

    ReplyDelete
  5. Soalnya lagi bingung... jadi not responding deh.. gitu.

    ReplyDelete
  6. Lha... malah hang nih! Layarnya biru lagi...nggak bisa diapa-apain...

    ReplyDelete