Thursday, April 5, 2007

Moody dalam Menulis?


Oleh : Cahya Herwening

Masih sangat moody kah kita? Jika kita melihat umur kita, kemudian melihat realita yang terjadi pada diri kita, mungkin akan muncul komentar dari kita sendiri, "wah ... wah ... masak se"tua" ini masih suka moody"? Harusnya kan kalau sudah tua (baca: dewasa) dapat lebih mengendalikan diri, dalam artian dapat menempatkan sikap kita terhadap sesuatu untuk kemudian melakukan atau tidak melakukan hal tersebut. Namun, dalam melakukan amalan seringkali kita masih sangat dipengaruhi oleh adanya faktor mood ini. Termasuk dalam aktivitas menulis tentunya.
Soal mood, sebenarnya bukan rahasia lagi kalau salah satu hambatan penulis (dan juga calon penulis) adalah masih menggelayutinya sifat moody pada dirinya. Jangankan orang-orang seperti saya yang masih sangat baru dalam kepenulisan, bahkan penulis-penulis besar dan ternama juga kadang masih seperti itu. Orang-orang sekelas mereka pun kadang masih mengalami 'futur' menulis, alias 'gak mood untuk memulai menggoreskan pena, atau menekan tuts keyboard komputer. Apalagi kita. Tak sedikit di antara kita semua yang menunda-nunda untuk mulai menulis. Merasa belum mood. Memikirkan dan menunggu waktu kapan punya mood menulis.

Jika gejala seperti di atas dibiarkan, maka perkembangan kita dalam menghasilkan tulisan jelas akan lambat. Sekadar sharing pengetahuan saja (bukan pengalaman, soalnya memang belum berpengalaman, sedang pengetahuan sedikit-sedikit ada lah), bila kita belum mau berubah dari sifat ketergantungan pada mood maka kecepatan pembelajaran dalam menulis juga lambat. Karena pembelajaran seorang penulis ya dari aktivitas menulis itu tadi, jika menulis saat ada mood saja maka tentunya hanya belajar sedikit. Bahkan, kita juga akan kehilangan banyak waktu dan ide selagi kita menunggu waktu datangnya mood itu.           
Beberapa orang yang lebih berpengalaman menulis pernah memberi wasiat, "Jangan menyerah pada mood!".  Karena menyerah pada mood itu sering merugikan, terutama jika bekerja di bidang kepenulisan dan ada deadline, serta jika sudah punya ide namun belum greget menulis. Jika seperti yang kedua ini, maka seringkali kita akan memikirkan terus ide itu, bagaimana cara menuangkannya, bagaimana sistematikanya, dari mana mencari bahan-bahannya, dsb. Bisa-bisa mengganggu konsentrasi ketika harus harus memikirkan hal lain, atau menjadikan tidur tak nyenyak karena saat tidur pun otak masih bekerja untuk memikirkannya. Mengapa tidak langsung mengambil kertas, pegang pena erat-erat dan mulai menulis? Menulis apapun yang ada di benaknya saat itu. Apa saja yang terpikirkan saat itu dituangkan seluruhnya tanpa menghiraukan terlebih dahulu perihal teknis dan sistematika yang menjadi urusan pada tahapan editing. Mengapa tidak melakukan itu? Padahal jika sudah mulai menggoreskan huruf demi huruf, kata demi kata, maka sedikit demi sedikit kita akan semakin memahami, sebenarnya apa sih yang akan kita tulis. Kita juga akan mendapat sistematika-sistematika baru, kombinasi dari semua yang pernah 'mampir', semua yang pernah dibaca, didengar dan dilihat menjadi sebuah rumusan gagasan yang baru. Kita akan menemukan itu sembari kita menuliskan gumpalan gagasan kita. Dan juga secara otomatis, kita juga akan menemukan mood kita. Dari situ kita akan mulai merasakan gejolak gairah menulis yang makin menggebu dan akhirnya dapat merasakan betapa nikmat menulis itu.
Perihal mood, tampaknya ada dua hal yang terkait, yakni waktu dan suasana. Kadang seseorang belum mau menulis karena merasa suasana belum 'in', belum cocok untuk mulai menulis. Atau merasa belum ada waktu yang tepat. Atau juga belum punya waktu untuk menulis. Apakah hal seperti ini pantas dibiarkan? Kata seorang guru (semua orang yang saya bisa belajar darinya saya anggap guru, jadi mungkin Antum pun termasuk guru saya): "suasana itu harus kita ciptakan sendiri". Termasuk waktu menulis, juga harus kita ciptakan sendiri. Kalau merasa suasana belum cocok, ya tidak akan pernah ada suasana yang sesuai kemauan kita. Atau jika merasa kekurangan waktu (merasa tidak ada waktu), ya nantinya tidak akan pernah kebagian waktu.
Kata kunci yang beliau sampaikan adalah: "momen yang tepat untuk menulis adalah: saat ini!". Suasana harus direkayasa, waktu harus disempatkan. Mulai dari adanya niat, lalu dilanjutkan dengan "pemaksaan" diri. Menulis disetiap ada kesempatan, satu paragraf, bahkan hanya beberapa kalimat pun tidak masalah. Yang penting ada peningkatan (progress) setiap harinya.
Ada beberapa orang yang bercerita bahwa ketika mencoba mulai menulis, dengan tanpa diketahuinya dari mana tiba-tiba kata-kata mengalir begitu saja dengan lancar, dan tangan enggan berhenti untuk terus menuliskan gagasannya. Ada yang ketika mau memulai tulisan sering kebingungan, mulai dari mana. Namun beliau tahu, dan tetap memaksa untuk mulai menulis, sehingga terangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat dan akhirnya tanpa sadar sudah jadi satu paragraf. Dan saat itulah mood yang tadinya tidak ada menjadi muncul. Semua dilatar belakangi kesadaran bahwa momen yang tepat untuk menulis ya saat ini, dan ketika kita mengatakan bahwa kita akan mencari waktu yang tepat, maka kita akan segera kehilangan banyak waktu dan ide. Khususnya jika ide itu tidak segera ditulis dalam buku ide, maka akan segera menguap lenyap. Oya, ada satu lagi yang memberikan tips, untuk mengatasi mood shalatlah meski hanya dua rakaat. Kata beliau shalat itu mencerdaskan dan seusai shalat maka mood akan diperoleh.
Begitulah, kesimpulannya ya jangan menyerah pada mood. Saya tambahkan, jangan bergantung pada mood. Apalagi ketika mood itu muncul disaat kita marah, sebal, emosi, dsb. Sehingga untuk memunculkan mood, harus emosi dulu. Ngeri to malahan, bukannya produktif menulis tapi bisa-bisa stress. Betul tidak? (dengan gaya bicara Aa Gym).

Tambahan tips, untuk menjaga mood dengan baik, ternyata perlu juga peran 'kejamaahan'. Artinya kita butuh semacam komunitas penulis yang di sana bisa saling menyemangati, sharing perkembangan tulisan dan kendala-kendalanya, bisa mengadakan semacam upgrade bareng, dsb. Juga, kata Ust. Cahyadi dalam acara silaturahim perdana ErAC (Era Intermedia Author Club) 26 Februari yang lalu di rumah beliau, ketika seorang penulis ketemu sesama penulis yang lain dan diskusi maka akan muncul banyak ide yang sebelumnya tidak terpikirkan. Hmm... ternyata keberkahan berjamaah berlaku juga untuk kegiatan tulis-menulis ini ya. Namun kalau belum bisa punya forum 'nyata', paling tidak kita ikut milis tentang kepenulisan, atau minimal punya teman yang bisa diajak diskusi dan sharing.
Itu saja. Sekali lagi saya baru bisa berbagi wawasan, belum berbagi pengalaman. Soalnya baru dalam tahap akan mengamalkan juga apa-apa yang tertulis di atas.**
 
Diedit dari e-mail yang saya kirimkan ke seorang teman.

13 comments:

  1. memang sih terkadang atin juga suka menemukan kendala dalam hal menuangkan sebuah karya,misalnya dalam pembuatan cerpen,ide awal sudah ada tetapi karena suatu hal yang mungkin pengaruh suasana,atin terkadang bingung bagaimana cara menuntaskan cerita tersebut.Dan juga dalam penentuan judul..waduh paling repot deh..bingung menentukan kata atau kalimat yang tepat untuk dijadikan sebuah judul untuk karya yang telah di buat.Bahkan seringkali atin menggunakan suku kata No Title untuk beberapa karya atin.

    ReplyDelete
  2. selain itu juga..sulit sekali untuk merangkaikan kata2 yang tepat untuk menguraikan ide atau gagasan yang ada dipikiran ini.Selalu saja merasa kurang pas atau kurang sreg.So solusinya?

    ReplyDelete
  3. Ttg judul...jangan cuma no title dong. Soalnya judul itu kunci apakah suatu karya itu menarik atau tidak. Tentunya oleh pembaca, yang dibaca pertama kali itu judul. Jadi kalau judulnya kurang baik, gimana banyak yg baca? (Ini refleksi diri, soalnya saya juga blm dapat membuat judul yg baik).

    Sulit merangkai kata yang tepat? Apakah masalah diksi? Kalau itu masalahnya, sering2 aja buka-buka kamus bahasa Indonesia, biar bisa banyak tahu ttg kosakata2. Klo ttg sistematika dan susunan yang baik, baiknya di proses mengedit aja. Pas pertama menulis, tulis aja sesuai ygn ada di pikiran, entah susunannya gak begitu karuan. Diekspresikan dulu aja semua... (Begitulah kata penulis yang lebih berpengalaman yang pernah saya dengar). Lalu diendapkan beberapa waktu, lalu dibuka, dibaca dan diedit lagi... :)

    ReplyDelete
  4. ada tips menarik: kalo lagi gak mood, ayo paksa nulis apa aja... ngetik apa aja...
    kalo lagi mood untuk nulis, silakan kabur dari hadapan komputer, menjauh dari buku tulis dan pulpen,.. ajk dirimu jalan-jalan keluar yang tersimpan berjuta inspirasi menulis

    ReplyDelete
  5. Wah....kalau ini yang kurang mengerti saya. Kenapa justru kalau pas mood, disarankan untuk 'ngacir' dari komputer? Bukankah itu kesempatan bagus buat menulis? :)

    ReplyDelete
  6. hmm..mungkin dia kurang mengetik kata nggak di samping kata mood...hehehe

    ReplyDelete
  7. yups...saya juga sering banget merasakan mood2 kek gini..dan biasanya selalu kalah...dan akhirnya jadi lebih malas utk memulainya lagi ...tp sekarang lag imencoba utk gak selalu tergantung sama mood and rasa malas pada saat memulai utk menulis...bener tuh....saat yang tepat utk menulis ya saat ini... ^_^

    ReplyDelete
  8. Sip lah!! Selamat berjuang buat Metha. Kita belajar untuk tidak bergantung pada mood. :) Tetap semangat!!

    ReplyDelete
  9. Oya, mengucapkan terimakasih kepada Mb' Rinurbad (http://rinurbad.multiply.com/) yang telah menulis tips tentang moody ini. Matur nuwun Mbak Rini....

    ReplyDelete
  10. aku ga tahu apa aku orangnya Moody atau tidak. Aku sedang menulis cerbung. Di suatu bab tiba - tiba aku nggak kepikiran mau nulis apa. Gambaran cerita sih masih ada cuma bagaimana aku menulis plotnya. Any suggestion?

    ReplyDelete
  11. Hmm mungkin ini bisa dimasukkan dalam apa yang disebut "writer's block". Seorang penulis kadang kehilangan ide apa yang mau ditulis. Tapi juga bisa sulit menulis meski sudah ada ide, cuma bingung bagaimana akan menungkapkannya.

    Coba jika ada gambaran ceritanya, buatlah semacam outline atau kerangka cerita. Isinya berupa tahapan-tahapan peristiwa secara umum yang terjadi pada cerita kita. Perhatikan urut-urutan peristiwanya. Kalau sudah benar, bisa ditambahkan poin2 lagi disetiap tahap peristiwa itu sebelum dikembangkan menjadi paragraf. Coba dulu aja ya... :)

    ReplyDelete