Monday, September 24, 2007

Tua-tua Keladi


Oleh : Cahya Herwening


Ini dia, cerpen yang saya kirimkan ke ajang lomba cerpen Escaeva. Benar-benar dibuat dengan asal. Bahasanya terlalu lurus, tidak banyak bunga bahasanya. Ok, selamat membaca aja... jangan lupa komentar dan masukannya....

=======================================

Eh, pekan ini ada isu apa nih, yang seru? Pastinya temen-temen udah punya data-data dong selama beberapa hari ini survei di kampus kita ...” Dewi membuka obrolan dengan teman-temannya hari itu. Seperti sudah ada kesepakatan, minimal sepekan sekali kelompok Dewi ini bertemu dan berkumpul di kantin kampus. Ada saja agenda pembicaraan mereka, mulai dari masalah kuliah, tugas, praktikum, sampai perilaku dosen dan mahasiswa, bahkan tak jarang juga isu-isu nasional mereka angkat. Mulai dari masalah importasi beras, kenaikan tunjangan dan gaji dewan sampai masalah TKI mereka bahas tuntas ...tas ...tas.
Pertemuan yang hampir terjadi tiap Jum’at sore itu merupakan obrolan dari bahan-bahan yang mereka temukan, atau lebih tepatnya mereka cari, pada hari-hari sebelumnya. Tak jarang isu-isu panas seputar politik kampus ataupun seputar perilaku mahasiswa berhasil mereka dapatkan datanya. Mereka mengetahui jauh lebih baik dari mahasiswa biasa pada umumnya, sehingga obrolan mereka pun bukan semata obrolan kosong, namun memang berdasarkan fakta dan data. Meski pembicaraan selama ini lebih mirip ngerumpi daripada diskusi, namun paling tidak menjadi pionir yang bagus di fakultas mereka, FKG, yang kultur kepedulian lingkungannya relatif lemah. Kebanyakan mahasiswanya apatis dan selfish.
”Ini nih, fakultas kita sekarang udah punya mayat hidup ... eh, salah .... mayat mati. Eh, iya ... mayat mati ... eh ...”. Mona menyahut memberikan masukan isu dengan gaya khasnya, bingung sendiri pada apa yang diomongkannya. Doski sering latah tuh.
”Ya iya dong, mayat itu ya mati. Kalau hidup, kita semua bakal pada lari semua. Kamu itu gimana sih? Tapi, apa benar kita punya mayat? Buat apa?” potong Dina, seorang gadis yang tembem, ngegemesin buat nyubit pipinya.
“Itu lho..... buat kuliah dan praktikum anatomi. Jadi mayat itu nanti ya bakal kita bedah-bedah. Hii....jadi takut deh ngebayangin kita mbedah mayat beneran, jangan-jangan nanti tiba-tiba bangun lalu ngomong ... ‘hei.... kalian apakan tubuhku?’ .... hii.. syerem deh....” timpal Rika sambil bergidik membayangkan kejadian seperti yang dikatakannya.
“Alaah... kamu itu ngebayangin yang nggak-nggak. Yang realistis aja toh. Iya, aku juga denger kayak gitu sih. Tapi di fakultas kita kan belum ada peralatan untuk merawat mayat kan? Apa nggak repot nanti ngurusinnya ya? Kalau busuk kan nanti menebar aroma ke mana-mana lagi... huekk!” Dewi menanggapi topik itu.
”Setahu saya, untuk merawat mayatnya kita minta bantuan Fakultas Kedokteran Umum. Jadi, mayatnya juga disimpan di sana. Di bawa ke KG cuma kalau diperlukan saja. Begitu.” Fatma, satu-satunya yang berjilbab ikut meramaikan forum itu setelah tadi hanya asyik mendengarkan.
Begitulah. Obrolan tentang mayat masih berlangsung seru, hingga sampai juga pada sudut pandang agama. Di sini peran Fatma menjadi dominan, karena memang satu-satunya yang pengetahuan Islam-nya paling maju daripada yang lain. Tidak sia-sia dia bergabung dengan aktivitas SKI (Sie Kerohanian Islam) di KG. Fatma menjelaskan kepada teman-temannya tentang hukum menunda penguburan mayat, dari hukum fikih yang masing-masing ulama biasanya berbeda pendapat atasnya.
”Jadi, mungkin sampai saat ini baru bisa kita simpulkan seperti ini, bahwa jika memang sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan juga penyebaran ilmu itu, mungkin dibolehkan. Asalkan memang niatnya lurus dan nantinya dari yang dilakukan itu dapat membawa pada kemashalahatan umat manusia. Namun, tentang ini tentunya masih harus dikaji lagi. Terutama dalam mencari solusi bagaimana agar nantinya peran mayat sungguhan ini bisa digantikan dengan yang lain, agar tidak terkesan mempermainkan si mayit untuk dijadikan alat percobaan.” Fatma menutup uraian panjang lebarnya. Seperti biasa, keempat temannya hanya bisa manggut-manggut hampir melongo.
”Ooo... gitu ya Fat. Ah, seperti biasanya, kamu yang ngasih finishing touch pada topik obrolan kita,” kata Dina sambil masih manggut-manggut.
”Iya sih... Kita juga perlu lihat sesuatu dari sudut pandang agama juga. Biar kayak tukang ngerumpi, tapi rumpian kita nih bermutu. Ada datanya, ada faktanya.... ya nggak, ya nggak?” timpal Dewi, yang didaulat jadi bosnya gerombolan itu.
”Tul ... tul ... berkat si Fat, si anak SKI yang mau gabung di forum kita nih...” Mona gak mau kalah.
”Hmmm... iya ya. Kita jadi sering belajar lebih banyak tentang agama tanpa terasa ya. Gak sia-sia deh, si Fat jadi bendum SKI,” kata Rika sambil tersenyum. Manis sekali.
“Iya tuh, sejak jadi bendaharanya Ricky, si ketua SKI yang cool itu tuh, dia jadi tambah pinter deh...” Dina ikutan komentar, lalu melempar pandangan menggoda, “Eiya, gimana kabarnya si Ricky, Fat? Udah jalan berapa kali sama doski?”
Muka Fatma memerah tersipu-sipu, malu tapi mau, he... he... he..., nggak ding. Nanti si Fat marah lagi. Meski dia tuh muslimah jilbaber, dia bisa cepat panas kalau mendengar hal-hal yang sensi kayak gitu.
”Ah, kalian jangan gitu dong. Aku masuk SKI tuh bukan buat ngedeketin dia. Bego banget kalo aku gitu, punya pikiran sesempit itu. Awas kalau kalian ungkit-ungkit hal ini lagi.” Tuh kan, beneran si Fat sewot. Mukanya merah tuh, bukan karena malu, tapi marah.
”Alaah.... gitu aja kok marah. Kita kan cuma bercanda ... ” sahut Dina.
”Becanda sih becanda. Tapi liat-liat dulu dong. Aku gak mau ada fitnah atau gosip apapun. Bisa merusak citra SKI dan orang-orangnya. Termasuk aku. Kalian mau, aku kena fitnah?” Fatma manyun.
“Mmm… tentu saja enggak dong. Maap deh Bu Ustadzah. Udah deh, kita bahas yang lain ajah. Eh, kalian dah dengar belum, ada dosen yang nyebeliiin banget di kampus kita?” lanjut Dina pula, memberikan topik baru.
“Eh, belum, belum. Nyebelin gimana maksudmu?” sambar Rika.
Seperti biasa, Mona yang suka latah ikut-ikutan menjawab, “Aku tahu, aku tahu! Dosen yang dah agak tua tapi suka gatel itu kan? Sukanya pegang-pegang cewek cakep. Dipegang paha, pantat, lalu…. Mmm…. Apa lagi ya…”
“Ini baru desas-desus sih. Soalnya belum punya datanya. Cewek-cewek yang pernah jadi korban tuh nggak mau ngaku terus terang sih, soalnya mereka khawatir klo dapat nilai jelek.” Papar Dina lebih lanjut.
“Wah… klo itu benar, gak bisa dibiarin nih. Mentang-mentang dosen, menggunakan kekuasaannya buat nurutin apa yang dia mau. Ini harus segera diusut dan dicari cara buat ngatasinnya. Klo gitu, dalam sepekan ini kita cari info lebih banyak dan lebih lengkap tentang ini. Kita bicarakan di pertemuan kita berikutnya. OK?” Dewi mulai menutup pembicaraan.
”OK Boss....” sahut yang lain serempak. Pertemuan itupun diakhiri.
****
Dua hari berikutnya. Ah, dasar si Rika, kadang jadi pemalas dia. Baju-baju kotornya belum sempat dia cuci. Pagi itu kelabakan deh dia, mau pakai baju apa.
”Duuh, kenapa roknya tinggal yang gini-gini doang? Klo gini bisa kelihatan dong paha gue. Hmm... lumayan sih, paha mulus buat nyari perhatian cowok. Tapi itu udah bukan gue banget. Murah banget dong gue. Tapi, apa boleh buat. Nyesel deh gue kenapa kemaring males nyuci.” Rika ngomel sendiri di kamarnya.
Semenjak sampai di kampus dan selama di kelas, Rika jadi pusat perhatian para cowok. Lebih tepatnya, pahanya yang kuning mulus itu. Banyak pasang mata yang curi-curi pandang, mengagumi indahnya ciptaan Tuhan itu. Rika merasakannya, membuatnya panas dingin menahan malu campur marah. Tapi apa boleh buat, salah dia sendiri sih.
Uuuhh... kalau gini jadinya, mending aku tadi pinjam jilbabnya si Fat sekalian. Batin Rika, sebal. Baru dirasakannya, kebutuhan menutupi aurat. Tidak tahu kenapa sekarang dirasakannya. Padahal dulu, dia yang suka pamer-pamer, model sih.
Kuliah jam pertama dan kedua selesai. ”Rika, ke kantin yuk. Aku laper nih, tadi belum sempat sarapan,” ajak Mona.
”Mmm... nggak ah. Aku ’gak gitu laper kok. Aku mau ke perpus aja. Ada beberapa buku yang mau kucari. Sorry ya, Mon.”
”Oo... ya udah. Sampai ketemu di kuliah berikutnya klo gitu... Yuk, Rik!”
Rika langsung menuju lift. Ruang perpustakaan FKG tidak berada di lantai 1, tapi di lantai 5. Yah, klo ada yang nggak pakai lift berarti orang itu bener-bener niat mau olah raga. Rika sendiri sebenarnya jarang ke perpus, tapi kali ini sengaja ke sana agar aman dari apa yang terjadi sejak pagi. Lirikan-lirikan para cowok yang mengagumi apa yang tidak bisa tertutupi rok mini itu.
Rika memencet tombol lift pada angka 5, kebetulan tidak ada penumpang lain di lift itu. Pintu lift segera merapat, namun sebelum pintu itu benar-benar tertutup ada satu tangan yang menahan. Pintu kembali terbuka. Rika melihat siapa yang di depan lift.
“Maaf, saya ikut naik lift ya...” sapa calon penumpang lift itu.
“Ya... silakan, Pak...” kata Rika sambil tersenyum pada laki-laki yang kira-kira berusia kepala lima itu. Salah satu dosen di fakultasnya.
”Terima kasih...” ucapnya pula. Rika melihat raut muka terkesiap saat bola mata pria itu tertuju ke bagian bawah. Rika segera menutupinya dengan buku yang dia bawa.
Lift pun mulai bergerak naik. Deg! Rika ingat pembicaraan dengan teman-temannya dua hari yang lalu, tentang dosen yang gatel. Dan dia sekarang sadar, bahwa dia sekarang bersama orang itu, hanya berdua dalam lift, dengan keadaan busana Rika yang seperti itu. Jantung Rika berdegup kencang.
“Dik, kalau nggak salah kamu Rika Damayanti kan?” tanya teman satu liftnya.
Rika kaget, saat pikirannya memikirkan sesuatu tiba-tiba ada yang memegang pundaknya dan berbicara padanya. “Eh.... i.... iya, ya.... , benar Pak.” Jawab Rika sambil agak menjauh.
”Hmm... saya tahu, kamu dulu seorang model. Kamu memang cantik. Tapi di kampus kita ada aturan. Termasuk tentang kesopanan berpakaian,” katanya sambil terus menatap bagian bawah Rika.
Pria itu mendekat. “Masak kamu ke kampus memakai pakaian seperti ini? Bagian ini bisa jelas terlihat,” katanya lagi sambil menyentuh bagian yang dimaksudnya. Jantung Rika semakin keras berdegup ketika merasakan tangan itu menyentuh kulit pahanya.
”Kalau begini bisa mengganggu kenyamanan belajar di kelas. Banyak yang akan kehilangan konsentrasi pada mata kuliah saat itu,” lanjutnya sambil menggerakkan tangan yang tadi menyentuh sesuatu.
Tubuh Rika agak gemetar. Jantungnya berdegup keras. Nafasnya agak memburu. Semuanya karena dia menahan amarahnya yang mulai meletup. Dalam hati Rika memaki-maki. Kurang ajaar..., sialan, dasar dosen cabul, beraninya dia memegang dan mengusap pahaku. Sembarangan...! Namun Rika tak kuasa untuk berbuat sesuatu.
”Lain kali jangan diulangi ya. Mengerti kan kamu?” kata dosen itu pula sambil memindahkan tanggannya ke pantat Rika. Rika hanya menunduk.
Lift sampai di lantai 4. Berhenti. ”Oke. Saya sudah sampai di tujuan. Sampai jumpa, jangan lupa yang saya katakan tadi...”
Pintu lift tertutup dan kembali bergerak menuju lantai 5. Rika masih menunduk. Tak bergerak, kecuali bahunya yang turun naik. Mukanya tampak merah. Tak tahu perasaan seperti apa yang dirasakannya saat itu.... marah, jengkel, sebel, malu, benci .... entah apa lagi. Semua campur aduk seperti adonan kue bolu.
Sampai di lantai 5, pintu lift terbuka. Namun Rika cepat-cepat menekan tombol penutup pintu dan angka 1. Beberapa mahasiswa yang naik mulai dari lantai berikutnya tak dia perhatikan. Keluar dari lift, berjalan di koridor lantai 1 dan langsung menuju ke tempat parkir.
Di jalan menuju parkiran, Rika berpapasan dengan Fatma. ”Hai, Rika! Lho... Ka, ada apa Ka?” tanya Fatma keheranan. Rika diam saja, berjalan cepat, masih menunduk. Fatma hanya melongo terheran-heran melihat punggung Rika yang semakin jauh. Tumben dia kayak gitu, ada apa ya kira-kira? Batin Fatma.
Sesampainya di tempat parkir, dia segera mencari mobilnya. Buka pintu mobil, membanting tas, masuk ke mobil, menutup pintu, dan segera mengemudikan mobilnya melesat keluar fakultas. Rika pulang.
Malam itu, Rika termenung di atas tempat tidurnya. Selama hampir dua jam semenjak pukul setengah sembilan matanya tidak bisa terpejam. Berkali-kali terbayang kejadian di lift siang tadi. Gila, seumur-umur belum pernah ada orang selain keluargaku yang menyentuhku, apalagi sampai memegang paha dan pantatku. Dasar dosen cabul kurang ajar. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Tunggu saja. Rika terus berkata-kata dalam hati, sampai ada dering telepon yang membuyarkan pikirannya.
”Halo... ooo Fatma. Oh, tidak. Tidak apa-apa kok. Besok aja di sekolah kuceritakan, sama teman-teman yang lain juga. Pokoknya aku punya berita besar. .... OK, sampai jumpa besok ya. Oya, Fat, suatu saat .... aku ingin sepertimu. Assalamu ’alaikum.” [ ]
(Diinspirasi dari yg terjadi di fakultas yg sama di UGM)

Friday, September 21, 2007

Pengumuman Lomba Sudah Keluar...Alhamdulillaah

Akhirnya...........
Setelah menunggu sebenarnya dengan (tidak terlalu) deg-degan, akhirnya pengumuman pemenang lomba cerpen Escaeva keluar juga. Setelah pagi tadi online dan belum ada pengumuman, malam ini akhirnya bisa ngecek lagi.... dan ketahuan hasilnya seperti apa.

Kebetulan malam ini aku diajak oleh tetangga sebelah rumahku yang seorang guru SMP, untuk mengantar CPU dan monitor ke lab komputer di SMP 1 Prambanan. Wah... kesempatan nge-internet lagi nih... gratisan..gratisan... :). Maklum saja, soalnya lab komputer itu memiliki koneksi internet. Dan ini kesempatan untuk melihat pengumumannya.

Setelah beberapa saat tidak bisa online karena koneksinya bermasalah, akhirnya setelah servernya diberesin, bisa online juga. Yess.... Langsung saja buka situsnya, lalu....
Yaa.... alhamdulillaah....
Tidak jauh dari dugaan semula :). Saya memang tidak termasuk dalam daftar cerpen-cerpen terbaik. Hmm.... boro-boro juara..., masuk 60 terbaik saja tidak!!

Alhamdulillaah... inilah yang terbaik bagi saya. Yang penting saya telah turut berpartisipasi, membuat cerpen yang meski dibuat asal-asalan, namun termasuk peserta. He...he...he... daripada yang cerpennya bagus, masuk kategori terbaik tapi didiskualifikasi karena melanggar aturan. Ha...ha..ha...

Yah.... aku akan terus menulis... Dan lain kali pasti akan kubuat karya yang lebih baik. Oya... ada yang pengin cerpen saya itu di-upload di MP saya ini tidak?

Thursday, September 20, 2007

[Agak] Deg-degan Nunggu Pengumuman Lomba

Hari ini adalah hari yang di'canangkan' untuk mengumumkan para pemenang lomba cerpen Escaeva. Tapi, ketika saya lihat di website dan milist-nya, ternyata belum muncul juga. Mmm.. sepertinya tidak berharap untuk menang, meski ada sih harap-harap cemas meski sedikit, soalnya pesertanya banyak banget dan kebanyakan kawakan semua, pada ahli semua. Banyak penulis yang dah sering nerbitin tulisan dan memenangkan lomba. Banyak juga yang mengirim beberapa karya cerpen. Lha kalau saya?? Saya baru pemula, dan cuma mengirim satu cerpen doang.

Tapi, dulu iseng saja mengirim, karena kebetulan punya tema dan cerita yang cukup pas. Lalu beberapa saat setelah mengirimkan cerpen, ternyata masuk daftar peserta, nomer 413 kalau di website-nya. Tahu bahwa karya saya memenuhi syarat peserta aja sudah senang saya. Total ada 1119 naskah cerpen!! Banyak banget kan? Padahal pemenangnya cuma diambil beberapa saja. Ya... mungkin saja sih menang, asal para juri ketika membaca dan menilai pada ngatuk semua dan ngasih nilai yang tinggi... ha...ha..ha...

Yah... kehendak Allah SWT tidak ada yang tahu... Siapa tahu nama saya dan judul karya saya ada di daftar pemenang. Siapa tahu? Ya... mohon do'anya saja deh..

Friday, September 7, 2007

Harus Loading Lagi??

Waah... selama dua bulan nggak ngisi MP.... Bahkan aktivitas menulis pun jadi sangat minimal. Hal ini dapat menurunkan kemampuan menulis yang kemarin ada. Karena... menulis adalah keterampilan, dan keterampilan diasah melalui praktek dan latihan secara terus menerus. Nah.. itu dia... selama dua bulan hampir vakum. Jadi sulit nih mau nulis.

Tulisan ini juga nih, nggak tau sebenarnya mau nulis apa sih. Asal aja. Pokoke sing penting MP-nya ada tambahan tulisan. Terus gimana dong selanjutnya? Perlu loading... loading... loading... sing jelas.

Huaa... bingung mau nulis apa.....!!! Kebanyakan ide mungkin....