Tuesday, December 18, 2007

Sudahkah Kita Menyebarkan Salam?




Oleh : Cahya Herwening


“...Mengucap salam dan bersalaman kan bisa mempererat persaudaraan ya Mas. Masak datang di suatu tempat tapi diam saja, tidak mengucap salam pada orang di sana. Wah .. zaman sekarang banyak orang kalau di belakang berkoar-koar hidupkan syariat Islam tapi kok saat ketemu orang mengucap salam saja tidak mau...”

Jlebb!!

Tertohok sekali rasanya hati ini mendengar perkataan seorang bapak yang (kelihatannya) menjadi pengurus sebuah masjid yang saya kunjungi di selatan Ring Road dekat terminal Giwangan Yogyakarta. Pasalnya, sayalah sepertinya yang menjadi pelaku dari apa yang beliau katakan itu.

Waktu itu, hari Selasa 27 November 2007, saya ada janji dengan seorang teman mantan satu sub unit di KKN untuk bertemu di perempatan selatan terminal Giwangan. Siang itu kami berencana berkunjung ke lokasi KKN kami dulu, karena sudah lama tidak menyambangi tempat tersebut. Terhitung sejak pekan kedua Ramadan hingga saat itu, saya sendiri tidak pergi ke tempat yang sebelumnya hampir rutin saya kunjungi untuk sekadar ketemu dengan adik-adik atau mengajar TPA. Setelah sampai di tempat yang disepakati, saya mencari masjid terlebih dahulu karena belum shalat Dhuhur. Beruntung ada masjid di tempat yang tidak terlalu jauh.

Ketika sampai di masjid tersebut, terlihat beberapa bapak (lebih tepatnya pemuda, karena kelihatannya belum menikah semua) sedang beristirahat sambil mengobrol di masjid tersebut. Saya datang dengan diam. Memarkirkan The Grandma, nama motor saya. Melepas sepatu. Berwudhu. Masuk masjid. Semua saya lakukan tanpa kata, mungkin juga tanpa senyuman pada orang-orang di sana. Datang tanpa ’kulo nuwun’ atau sekadar sapa. Bahkan mungkin juga raut wajah ini ... tidak ada cerahnya sama sekali.

Setelah shalat, keluar masjid juga dengan sepi, tanpa kata terucap, hanya mendengar obrolan mereka. Kemudian saya memakai sepatu ..... dan akhirnya meluncurlah rangkaian kata tersebut dari salah satu mereka, sambil beliau mendatangi dengan ramah dan mengulurkan tangan untuk menyalami. Mulai menyadari kesalahan yang telah diperbuat semenjak datang tadi, saya hanya senyum dan mengangguk-angguk terhadap apa yang diucapkan bapak itu.

Duuh ... betapa bodohnya saya. Beraktivitas selama ini, bukan orang yang jarang datang mengaji, bahkan mengklaim diri sebagai da’i, tapi ... untuk hal sesepele itu saja, saya harus diajari oleh orang lain. Padahal seharusnya, secara teori jelas sedikit banyak sudah tahu dan mungkin tak jarang menyampaikan pada orang lain. Tapi ketika mengaplikasikannya ... kenapa belum terbangun dalam diri untuk dapat tersenyum, berwajah cerah, mengucap salam dan menyapa ketika bertemu sesama muslim? Orang yang punya tugas menyebarkan sunnah, mengapa harus diajari dalam mengamalkan sunnah itu? Sungguh memalukan!

Ini salah satu contoh yang diambil dari pengalaman penulis sendiri, betapa kita sangat lemah. Kita mungkin aktif di sana-sini, punya binaan berkelompok-kelompok, dan seabreg amanah lainnya, tapi perlu kita refleksikan lagi seberapa jauh kita mengontrol diri dalam mengamalkan apa yang kita sampaikan. Khususnya dalam urusan menyebarkan salam ini.

Seberapa pentingnya salam, tentu dapat tergambarkan dengan adanya firman Allah swt kepada manusia tentang salam ini, yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya … “ (QS. An-Nuur : 27)
Firman Allah lainnya, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (QS. An Nur: 61)
Penjelasan mengenai ayat di atas, Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah mensyari’atkan salam bagi kalian dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi berkat lagi baik, maka hal tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa akan menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rahman)

Cinta. Ya, cinta. Cinta adalah inti dari keimanan. Seseorang yang beriman kepada Allah, maka dia mencintai Allah. Dan tidaklah seseorang beriman kepada Allah, sebelum dia mencintai saudaranya. Telah diriwayatkan oleh Abu Hamzah Anas bin Malik ra., bahwa disabdakan oleh Rasulullah saw., ”Seseorang di anatara kalian tidak (dikatakan) beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Cinta adalah kunci surga. Karena tidak disebut beriman (kepada Allah swt.) bila seseorang tidak mencintai Allah, dan juga tidak mencintai sesama muslim. Dan jika seseorang tidak masuk kategori orang mukmin, niscaya dia tidak akan pernah merasakan apa yang dinamakan surga. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Salam.... Ya, salam. Menyebarkan salam di antara kita, sesama umat muslim adalah sebuah keutamaan yang musti dipelihara. Karena seperti sabda Nabi saw, dengan salam maka kita akan saling mencintai, dan cinta di antara kita semualah yang akan membangun bangunan kokoh ukhuwah Islamiyah. Yang itu juga akan mendasari lahirnya kebangkitan umat, karena persatuan umat Islam telah ada di depan mata.

Selanjutnya, mungkin di antara kita ada yang mengatakan, ”Kalau itu sih ... aku juga sudah mengamalkan. Aku sudah menyebarkan salam di antara sesama muslim...” Baiklah. Tapi ada yang masih perlu dipertanyakan, jangan-jangan kita hanya menyebarkan salam kepada orang-orang yang sudah kita kenal saja. Sedangkan pada orang yang belum kita kenal, meski muslim, kita belum mengucap salam saat bertemu, bahkan senyum saja jarang. Maka hendaknya kita berhati-hati, karena Nabi saw. telah menyebutkan bahwa, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat apabila salam hanya ditujukan kepada orang yang telah dikenal.” (Hadits shahih. Riwayat Ahmad dan Thabrani)

Itu dia! Seringkali di antara kita, hanya menyebar salam kepada sesama kita yang sudah saling kenal. Padahal etika salam, adalah mengucapkannya pada semua muslim yang kita kenal maupun yang tidak. Sabda Rasulullah SAW, “Berikanlah salam pada orang yang Anda kenal dan orang yang tidak Anda kenal.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash).

Citra diri seseorang juga dipengaruhi oleh sejauh mana dia bersikap kepada orang yang dikenalnya dan pada orang yang belum dikenalnya. Seharusnya, sikap yang muncul kepada mereka semua tidak jauh berbeda. Terlebih lagi jika pelakunya adalah aktivis da’wah, seorang da’i yang seharusnya memposisikan siapa saja yang dihadapinya sebagai objek da’wahnya. Dan kepada setiap objek da’wah harus dapat bersikap dengan baik. Dalam hadits Muttafaq ‘alaihi, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang baik?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal maupun yang tak kau kenal.” (Muttafaq ‘alaihi).

Yah, akhirnya saya meninggalkan masjid tersebut dengan setengah malu. Melangkah menuju The Grandma sambil merenungkan perkataan yang baru saja saya dengar. Hmm... betul juga ya... padahal aku disebut orang sebagai ADK, Aktivis Dakwah Kampus, tapi ternyata seringkali lalai seperti ini. Sudah jelaslah kesalahan saya secara etika, karena dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan. Yang berjalan kepada yang duduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih tua.”
Saya mengendarai motor menuju tempat janjian dengan teman, sambil masih merenung dan merasa diri bodoh ..... Yuk, sebarkan salam! [ ]

Prambanan, 3 Desember 2007

15 comments:

  1. Menyebar salam... sederhana teorinya, tapi sulit prakteknya... :)

    ReplyDelete
  2. Syukron artikel tambahannya...btw bulan juni kemaren ane PKL di Jogya, tepatnya di desa Saman deket Ring Road Selatan. but I don't know Giwangan?

    ReplyDelete
  3. Iya, sama-sama. PKL-nya di mana? Perusahaan? UKM? Bengkel :P?
    Nggak tau Giwangan?

    ReplyDelete
  4. bengkel dari hongkong??? ;-) PKLnya di penerbitan LKIS, kebetulan ane ambil konsentrasi terjemah. sebenarnya keberatan juga sih di LKIS, tapi mau bagaimana uda dapet paket dari Fakultas githu...giwangan itu yang ada pasar buahnya za...

    ReplyDelete
  5. Hmm..klo nggak dari Hongkong, ya Taiwan lah.. :D
    Hm.. di LKIS ya. Klo gak salah, itu milik org2 JIL kan?
    Iya, Giwangan itu yg ada pasar buahnya... deket terminal.

    ReplyDelete
  6. Yessss....antm bener, JIL punya abis. sampe nggak krasan waktu PKL

    ReplyDelete
  7. Sebenarnya dibuat enjoy aja sih...coz karyawannya baik2 tuh..hanya saja pak direktur and personal redaksi yang agak bermasalah, mungkin karena ane satu2nya akhwat disana. klo ada ana mereka kayak lihat alien yang g diharapkan kehadirannya.takut buat onar kali...he..(preman za...)

    ReplyDelete
  8. Tepatnya, kurang atau lebih nih?? Jangan dua-duanya dong... :D

    ReplyDelete
  9. ehm...muwashitah, alias yang sedang2 saja..

    ReplyDelete
  10. yap, mari sebarkan slam..."assalamu'alaikum

    ReplyDelete