Wednesday, April 25, 2007

Saya Suka Jepang (1) : Antara Jepang dan Shirotsuya



Oleh : Cahya Herwening


Beberapa waktu lalu ada pertanyaan dari seorang teman, mengenai blog saya seperti ini: "Antum suka ma hal-hal yang berbau Jepang ya? Nama blog Shirotsuya, apakah punya makna tersendiri buat Antum?" Apa jawaban saya? Nah, pemaparan saya berikut ini merupakan rangkaian jawaban yang coba saya utarakan.
Dari judul yang saya tulis, sebenarnya sudah jelas kan jawabannya? Benar, saya suka beberapa hal tentang Jepang. Saya tidak tahu sejak kapan saya suka Jepang, dan hal apa tepatnya yang pertama kali membuat saya menjadi suka. Hanya, seingat saya sudah lama sekali perasaan suka itu muncul, sejak SD mungkin.
Saat SD-lah pertama kali mengenal tokusatsu, mulai dari ultraman, kamen rider dan super sentai. Ya, saya berbicara tentang beberapa jenis karakter khas dalam perfilman dan komik Jepang, yang ketika akan beraksi selalu melakukan "henshin" (berubah wujud dari manusia menjadi super hero). Saya ingat betul yang pertama kali saya lihat dari jenis ultraman adalah Ultra 7, jenis kamen rider adalah Kamen Rider Black (lihat openingnya) sedang super sentai yakni Power Ranger (yang ini Amerika punya, lihat proses pembentukan Megazordnya) dan Turbo Ranger. Semua film itu berbicara tentang satu prinsip dasar dalam hidup, bahwa "kebenaran akan mengalahkan kejahatan, kebaikan akan mengalahkan keburukan". Itulah salah satu pelajaran yang tertanam dalam benak, sehingga waktu kecil sering bermimpi ingin menjadi seorang super hero yang membela kebenaran dan menolong orang banyak.
Ketika SD itu juga, mulai mengenal kartun Jepang (anime). Saya temukan bahwa kartun Jepang memiliki beberapa kelebihan dibanding kartun buatan Barat, misalnya karakternya lebih luwes, desainnya keren, ceritanya menarik dan sangat imajinatif, variatif dan tidak monoton. Kalau tidak salah, anime pertama yang saya lihat adalah ... Doraemon. Ini terjadi ketika awal-awal bertambahnya stasiun TV swasta, melihatnya lewat TV hitam putih dengan penambahan antena UHF. Menyusul anime Candy-candy (sebenarnya nggak suka, sebel banget soalnya terlalu cewek, tapi apa boleh buat soalnya cuma ikut nonton di TV tetangga ^^), Akakage (Ninja Bayang Merah), Born to Cook, Saint Seiya, Dragon Ball, dan lain-lain, banyak deh, termasuk Sailor Moon juga (hueksss...!^^). Salah satu yang berkesan, karena ceritanya juga panjang hingga ratusan episode, adalah Dragon Ball karya Akira Toriyama. Hampir sebagian besar anime juga berbicara bahwa kejahatan akan kalah melawan kebenaran.
Sampai masa SMU, semakin mengenal keunggulan teknologi Jepang melalui .... game! ^^. Awal SMU sih, belum begitu tahu, termasuk ketika ada teman yang keranjingan console game. Namun setelah punya console sendiri, pertengahan kelas 2, berupa Sony Playstation (mau buat rentalan game sih...), wah ... mulai kena penyakit yang bernama gamemania. Salah satu game paling berkesan adalah game bergenre RPG (Role Playing Game) yang pertama kali saya mainkan, Final Fantasy VII. Wah, keren banget tuh cerita dan tata suaranya. Setelah menamatkan, mulai memburu game RPG lain dan makin banyak yang ditamatkan. Nggak hanya game RPG, action, adventure, simulation, sampai fighting pun dilahap. Sampai jadi semacam konsultan game gitu sih, dikalangan anak-anak.
Cerita di perkuliahan lain lagi. Meski di awal semester masih sering 'main', tapi makin lama seiring dengan adanya aktivitas baru di organisasi kampus, juga makin dewasanya diri maka makin jarang bermain game. Tapi, pastinya ada juga manfaat atau pelajaran yang bisa diambil dari aktivitas nge-game itu. Salah satunya, lebih bisa menghayati hidup. Hidup itu bagai memainkan sebuah game, dengan alur skenario yang telah ditentukan, meski terlihat nonlinear. Kemudian kita selaku tokoh utama dalam 'game' kita masing-masing, berperan sesuai penokohannya. Dalam 'game' kita, bagi setiap kita, kita adalah tokoh utamanya, sehingga 'game' hidup ini dipenuhi para tokoh utama yang kemudian saling berinteraksi. Dalam 'game' hidup kita, akan senantiasa menemui tantangan, hambatan, teka-teki, dan lawan yang harus diatasi untuk bisa mencapai level berikutnya. Begitu seterusnya hingga kita mencapai salah satu dari alternative ending yang ada.
Dalam game RPG, tidak hanya level tempat dan pencapaian progress game yang harus dicapai, namun juga level karakter yang harus senantiasa dinaikkan. Cara menaikkan level itu tentu dengan berlatih, mencari monster-monster untuk 'diajak' bertarung, dengan hasil sampingan uang hasil pertarungan dan kadang kita akan memperoleh item. Itulah penghargaan-penghargaan kecil ketika kita berhasil melalui masalah kecil. Dan dengan level karakter yang makin tinggi, status ability-nya pun akan naik, maka akan lebih mudah dalam melalui level-level game berikutnya, khususnya dalam menghadapi pertarungan-pertarungan. Begitulah dalam hidup, kita hendaknya juga senantiasa menaikkan level diri kita dengan meningkatkan kemampuan, kapasitas keilmuan dan wawasan, meningkatkan ketrampilan, dan sebagainya. Yang jelas, dengan bertambah baiknya kualitas diri kita, maka kita akan dapat mengarungi hidup dengan lebih mudah. Yang ujung-ujungnya harapannya dapat mencapai alternative ending yang terbaik dalam 'game' itu, happy ending, atau istilahnya: husnul khotimah.^^
Kita lanjutkan ceritanya. Suatu saat, ketika sore hari ke perpustakaan pusat UGM, iseng-iseng mencari buku di rak koleksi Jepang. Di sana menemukan salah satu buku pelajaran bahasa Jepang, lalu iseng-iseng membaca. Kaget. Lho ... kok ternyata bahasa Jepang begini mudah? Jadi makin tertarik, padahal zaman SMU dulu lihat bukunya aja pusing. Mulai tuh... belajar bahasa Jepang lewat buku-buku. Selain fotokopi, juga membeli di toko buku beberapa buku dasar dan kamus kecil.
Untuk mempertajam kemampuan, coba mencari lagu-lagu Jepang ke rentalan CD dan mencari liriknya di internet. Memutar lagu di komputer sambil membaca teks liriknya, menyesuaikan tulisan dengan cara baca (pelafalan) oleh penyanyinya, hmmm... salah satu cara bagus untuk meningkatkan kemampuan bahasa Jepang. Ee.... kok malah jadi suka lagu Jepang. Aneh juga.
Kemampuan berbahasa Jepang meningkat dengan makin banyak praktek. Ada banyak kesempatan online di internet karena tetangga yang guru sering mengajak ke lab komputer SMP untuk mengecek kondisi komputer dan memperbaiki kalau ada yang error. Tetangga saya dijadikan teknisi di SMP tersebut. Nah, ketika online itulah, mencoba chatting dan masuk ke room Japan lalu mencari orang Jepang, atau juga orang Indonesia yang bisa bahasa Jepang. Ngobrol deh di sana ..., pakai bahasa Jepang dong ^^. Pas chatting sering ditanyai belajar bahasa Jepang dari mana, saya jawab belajar sendiri dari buku, "Hitori de Nihon-go no hon kara benkyou-shimashita...". Kagum deh tuh yang nanya, "Hontou ni? Taihen jouzu desu ne. Anata no Nihon-go ga sugoi dayo.....", artinya kira-kira gini: "Yang bener?! Pinter banget! Bahasa Jepangmu bagus lho..." he...he...he....
Sampai kemudian membuat program kerja di organisasi yang diampu, sebuah kelompok studi fakultas bernama Agritech Study Club, program berupa Japanese Club. Selama menunggu adanya pemateri yang lebih kompeten, di awal-awal pertemuan saya sendirilah yang mengisi materinya. Padahal hanya mengandalkan hasil belajar secara otodidak lewat buku. Tapi jalan juga tuh acara. Berani juga ya saya.
Begitulah sekilas cerita tentang interaksi saya dengan hal-hal yang berkaitan dengan Jepang. Semua berdasarkan kesukaan terhadap Jepang, kesukaan yang entah dari mana asalnya, atau juga yang makin menumbuhkan kesukaan padanya. Mungkin, berikut ini hal yang belum saya ceritakan, bisa jadi semua dilatarbelakangi dari kekaguman awal terhadap sosok yang hampir selalu berada di balik bayangan dan merajai sisi dunia itu ketika zaman Jepang feodal. Sosok apakah atau siapakah itu? Jawabannya: Shinobi, yang juga dikenal dengan sebutan Ninja. Mungkin kekaguman terhadap sosok ninja yang memiliki kemampuan dan teknik superhuman inilah yang melatarbelakangi saya menjadi suka terhadap Jepang.
Nama "Shirotsuya" sendiri, dalam benak saya, adalah julukan bagi seorang sosok ninja yang berasal dari klan Makoto, sebuah klan yang tidak dikenal banyak orang, namun ditakuti bagi beberapa klan ninja lain. Ninja dari klan Makoto terkenal sangat tegas dan idealis dalam mempertahankan dan membela prinsip, yang sesuai dengan nama klan mereka, "makoto" (kebenaran). Klan ini hampir tidak pernah mengangkat tuan, sesuai tradisi leluhurnya hanya menjadikan prinsip kebenaran itu menjadi 'junjungan' mereka, dan mereka membelanya hingga tetes darah terakhir. Hal inilah yang menjadikan ninja-ninja oportunis menciut nyalinya jika menghadapi ninja dari klan Makoto, selain karena kemampuan para ninjanya sendiri yang hebat, dengan teknik beladiri ninjutsu yang unik dan aneh, namun hebat.
Shirotsuya, pewaris klan Makoto generasi ke 7, adalah salah satu sosok ninja legendaris klan tersebut. Sebagian besar para ninja baru mendengar namanya namun belum tentu pernah melihat sosoknya, meski mungkin justru dia sering terlihat. Kemampuan melakukan penyamaran yang luar biasa menjadikan orang tidak akan pernah menyangka bahwa dia adalah Shirotsuya. Namun, jika sudah beraksi, dari gerakannya dia dapat segera dikenali. Gerakannya cepat, secepat kilat, namun sisa kelebatannya dapat terlihat, kelebatan putih. Itulah mengapa dia dijuluki Shirotsuya (cahaya putih), karena kelebatan gerakannya yang berwarna putih itu.
Ahh.... cukup sudah khayalannya....^^. Tapi, siapa tahu nanti khayalan itu akan menjadi lebih riil, dengan kehadirannya dalam sebuah novel. Mungkin saja itu akan terjadi dan semua tidak akan pernah menyangka kan? ^^
Sebenarnya sih ... "Shirotsuya", frasa yang berasal dari dua kata, shiroi (=putih) dan tsuya (=cahaya), adalah semacam terjemahan dalam bahasa Jepang yang saya buat dari nama saya. Nama saya, Cahya Herwening, jika diartikan kira-kira menjadi "cahaya yang memancar dari air yang bening, jernih, tenang". Coba, kira-kira warna apakah yang dihasilkan dari pantulan ataupun pembiasan cahaya dari air itu? Bisa jadi putih, atau terpecah menjadi semua spektrum cahaya, namun dari kesemua spektrum cahaya itu, jika disatukan juga menjadi cahaya putih. Itulah makanya saya mengambil kata "Shirotsuya" yang berarti "cahaya putih" itu menjadi nama Jepang saya. Itu saja.
Ada dua versi jawaban saya atas pertanyaan di awal tulisan ini. Tulisan ini adalah versi yang pertama. Lihat juga versi yang kedua, berjudul "Saya Suka Jepang (2) : Mentalitas Kaum Muslim Ada Pada Bangsa Jepang"
23 April 2007

Thursday, April 5, 2007

Moody dalam Menulis?


Oleh : Cahya Herwening

Masih sangat moody kah kita? Jika kita melihat umur kita, kemudian melihat realita yang terjadi pada diri kita, mungkin akan muncul komentar dari kita sendiri, "wah ... wah ... masak se"tua" ini masih suka moody"? Harusnya kan kalau sudah tua (baca: dewasa) dapat lebih mengendalikan diri, dalam artian dapat menempatkan sikap kita terhadap sesuatu untuk kemudian melakukan atau tidak melakukan hal tersebut. Namun, dalam melakukan amalan seringkali kita masih sangat dipengaruhi oleh adanya faktor mood ini. Termasuk dalam aktivitas menulis tentunya.
Soal mood, sebenarnya bukan rahasia lagi kalau salah satu hambatan penulis (dan juga calon penulis) adalah masih menggelayutinya sifat moody pada dirinya. Jangankan orang-orang seperti saya yang masih sangat baru dalam kepenulisan, bahkan penulis-penulis besar dan ternama juga kadang masih seperti itu. Orang-orang sekelas mereka pun kadang masih mengalami 'futur' menulis, alias 'gak mood untuk memulai menggoreskan pena, atau menekan tuts keyboard komputer. Apalagi kita. Tak sedikit di antara kita semua yang menunda-nunda untuk mulai menulis. Merasa belum mood. Memikirkan dan menunggu waktu kapan punya mood menulis.

Jika gejala seperti di atas dibiarkan, maka perkembangan kita dalam menghasilkan tulisan jelas akan lambat. Sekadar sharing pengetahuan saja (bukan pengalaman, soalnya memang belum berpengalaman, sedang pengetahuan sedikit-sedikit ada lah), bila kita belum mau berubah dari sifat ketergantungan pada mood maka kecepatan pembelajaran dalam menulis juga lambat. Karena pembelajaran seorang penulis ya dari aktivitas menulis itu tadi, jika menulis saat ada mood saja maka tentunya hanya belajar sedikit. Bahkan, kita juga akan kehilangan banyak waktu dan ide selagi kita menunggu waktu datangnya mood itu.           
Beberapa orang yang lebih berpengalaman menulis pernah memberi wasiat, "Jangan menyerah pada mood!".  Karena menyerah pada mood itu sering merugikan, terutama jika bekerja di bidang kepenulisan dan ada deadline, serta jika sudah punya ide namun belum greget menulis. Jika seperti yang kedua ini, maka seringkali kita akan memikirkan terus ide itu, bagaimana cara menuangkannya, bagaimana sistematikanya, dari mana mencari bahan-bahannya, dsb. Bisa-bisa mengganggu konsentrasi ketika harus harus memikirkan hal lain, atau menjadikan tidur tak nyenyak karena saat tidur pun otak masih bekerja untuk memikirkannya. Mengapa tidak langsung mengambil kertas, pegang pena erat-erat dan mulai menulis? Menulis apapun yang ada di benaknya saat itu. Apa saja yang terpikirkan saat itu dituangkan seluruhnya tanpa menghiraukan terlebih dahulu perihal teknis dan sistematika yang menjadi urusan pada tahapan editing. Mengapa tidak melakukan itu? Padahal jika sudah mulai menggoreskan huruf demi huruf, kata demi kata, maka sedikit demi sedikit kita akan semakin memahami, sebenarnya apa sih yang akan kita tulis. Kita juga akan mendapat sistematika-sistematika baru, kombinasi dari semua yang pernah 'mampir', semua yang pernah dibaca, didengar dan dilihat menjadi sebuah rumusan gagasan yang baru. Kita akan menemukan itu sembari kita menuliskan gumpalan gagasan kita. Dan juga secara otomatis, kita juga akan menemukan mood kita. Dari situ kita akan mulai merasakan gejolak gairah menulis yang makin menggebu dan akhirnya dapat merasakan betapa nikmat menulis itu.
Perihal mood, tampaknya ada dua hal yang terkait, yakni waktu dan suasana. Kadang seseorang belum mau menulis karena merasa suasana belum 'in', belum cocok untuk mulai menulis. Atau merasa belum ada waktu yang tepat. Atau juga belum punya waktu untuk menulis. Apakah hal seperti ini pantas dibiarkan? Kata seorang guru (semua orang yang saya bisa belajar darinya saya anggap guru, jadi mungkin Antum pun termasuk guru saya): "suasana itu harus kita ciptakan sendiri". Termasuk waktu menulis, juga harus kita ciptakan sendiri. Kalau merasa suasana belum cocok, ya tidak akan pernah ada suasana yang sesuai kemauan kita. Atau jika merasa kekurangan waktu (merasa tidak ada waktu), ya nantinya tidak akan pernah kebagian waktu.
Kata kunci yang beliau sampaikan adalah: "momen yang tepat untuk menulis adalah: saat ini!". Suasana harus direkayasa, waktu harus disempatkan. Mulai dari adanya niat, lalu dilanjutkan dengan "pemaksaan" diri. Menulis disetiap ada kesempatan, satu paragraf, bahkan hanya beberapa kalimat pun tidak masalah. Yang penting ada peningkatan (progress) setiap harinya.
Ada beberapa orang yang bercerita bahwa ketika mencoba mulai menulis, dengan tanpa diketahuinya dari mana tiba-tiba kata-kata mengalir begitu saja dengan lancar, dan tangan enggan berhenti untuk terus menuliskan gagasannya. Ada yang ketika mau memulai tulisan sering kebingungan, mulai dari mana. Namun beliau tahu, dan tetap memaksa untuk mulai menulis, sehingga terangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat dan akhirnya tanpa sadar sudah jadi satu paragraf. Dan saat itulah mood yang tadinya tidak ada menjadi muncul. Semua dilatar belakangi kesadaran bahwa momen yang tepat untuk menulis ya saat ini, dan ketika kita mengatakan bahwa kita akan mencari waktu yang tepat, maka kita akan segera kehilangan banyak waktu dan ide. Khususnya jika ide itu tidak segera ditulis dalam buku ide, maka akan segera menguap lenyap. Oya, ada satu lagi yang memberikan tips, untuk mengatasi mood shalatlah meski hanya dua rakaat. Kata beliau shalat itu mencerdaskan dan seusai shalat maka mood akan diperoleh.
Begitulah, kesimpulannya ya jangan menyerah pada mood. Saya tambahkan, jangan bergantung pada mood. Apalagi ketika mood itu muncul disaat kita marah, sebal, emosi, dsb. Sehingga untuk memunculkan mood, harus emosi dulu. Ngeri to malahan, bukannya produktif menulis tapi bisa-bisa stress. Betul tidak? (dengan gaya bicara Aa Gym).

Tambahan tips, untuk menjaga mood dengan baik, ternyata perlu juga peran 'kejamaahan'. Artinya kita butuh semacam komunitas penulis yang di sana bisa saling menyemangati, sharing perkembangan tulisan dan kendala-kendalanya, bisa mengadakan semacam upgrade bareng, dsb. Juga, kata Ust. Cahyadi dalam acara silaturahim perdana ErAC (Era Intermedia Author Club) 26 Februari yang lalu di rumah beliau, ketika seorang penulis ketemu sesama penulis yang lain dan diskusi maka akan muncul banyak ide yang sebelumnya tidak terpikirkan. Hmm... ternyata keberkahan berjamaah berlaku juga untuk kegiatan tulis-menulis ini ya. Namun kalau belum bisa punya forum 'nyata', paling tidak kita ikut milis tentang kepenulisan, atau minimal punya teman yang bisa diajak diskusi dan sharing.
Itu saja. Sekali lagi saya baru bisa berbagi wawasan, belum berbagi pengalaman. Soalnya baru dalam tahap akan mengamalkan juga apa-apa yang tertulis di atas.**
 
Diedit dari e-mail yang saya kirimkan ke seorang teman.