Wednesday, March 12, 2008

Kepiting itu Halal Apa Haram?



Oleh : Cahya Herwening


Ada yang memesan tulisan tentang kepiting (salah satunya si Atin), yang oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) di fatwakan sebagai sesuatu yang halal untuk di makan. Tulisan ini tentu saja bukan bermaksud untuk menjadi bagian dari fatwa, karena disadarinya penulis bukan orang yang fakih dalam masalah tersebut. Penulis masih sangat jauh dari kualifikasi untuk memenuhi syarat sebagai mufti. Tentu saja seperti itu. Namun, tulisan ini bermaksud hanya sekadar berbagi informasi terkait masalah ini.

Kebanyakan orang beranggapan bahwa kepiting itu termasuk yang diharamkan, karena dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam (barma’i). Padahal tentang hukum hewan barma’i itu sendiri termasuk masalah yang diperdebatkan (masalah khilafiyah), suatu masalah yang tidak bisa dijatuhkan hukum yang qath’i (mutlak).

Sebelum berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ahli ilmu (ulama dan ilmuwan) juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.

Sedangkan masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :

1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
Dua madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.

Dalam kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i)

Silahkan periksa juga Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.

2. Al-Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.

Silahkan periksa kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172.

3. Al-Hanabilah
Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.

Silahkan periksa kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.

Demikianlah beberapa pandangan para ulama dari kalangan yang berbeda. Masing-masing memiliki pendapat yang berdasarkan dalilnya. Pilihan terbuka bagi kita untuk memilih salah satu pendapat yang menurut kita paling kuat, atau paling mantap di hati kita. Namun sebagai warga negara dan umat yang baik, alangkah sangat baiknya jika mengikuti apa yang telah difatwakan oleh MUI. Yakinlah bahwa fatwa itu dikeluarkan setalah terdapat pengkajian mendalam oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya.


Pandangan Pribadi
Sebagai penutup, akan saya tambahan pandangan pribadi yang didasarkan pada referensi yang penulis miliki. Pandangan umum mengenai hukum asal segala sesuatu hal tentang keduniaan (bukan peribadatan), adalah boleh kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Berarti, selain yang telah diharamkan, maka benda apapun boleh dimakan dan diminum, serta apapun boleh dikerjakan.

Dalam Al-Qur’an, yakni surah Al-Baqarah ayat 178, An-Nahl ayat 115, Al-Maaidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145, dikatakan bahwa makanan yang diharamkan hanya ada empat jenis, yakni: bangkai, darah, babi dan segala sesuatu yang disembelih bukan karena Allah. Ditegaskan dalam surah Al-An’am ayat 119 bahwa Allah berfirman bahwasannya telah diterangkan oleh-Nya dengan satu persatu apa yang Ia haramkan atas menusia, yang berarti tidak ada makanan yang haram selain yang empat tersebut.

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”

Ada beberapa penjelasan yang lebih terperinci, misalnya tentang beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah melarang beberapa jenis hewan, beberapa shahabat menafsirkan larangan tersebut sebagai pengharaman, sebagian yang lain tidak (maksimal hanya makruh). Dan di antara pendapat-pendapat itu mana yang lebih kuat. Jikalau pembaca menginginkan hal tersebut dipaparkan sedikit lebih jauh, insya Allah nanti akan ada tambahan. Namun cukup dengan itu insya Allah masalah tentang kepiting telah bisa pembaca simpulkan sendiri. Wallahu A`lam Bish-shawab. [ ]

Rujukan:
- Kitab Bulughul Maram, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Tarjamah oleh A. Hassan.
- www.syariahonline.com

Sumber gambar:
- http://www.papuaweb.org/gb/foto/muller/ecology/08/index.html
- http://sinarta.com/blog/?p=198

33 comments:

  1. belum pernah makan kepiting tuh.. tapi kalo ngeliat kepiting yang udah dimasak kayaknya bole juga... tapi mungkin agak ribet makannya ya.. tigger si gak begitu suka sama makanan yang susah dimakan.. sama makanan yang harus dimakan pake tangan.. berasa gimanaaa gitu, tangan jadi bau, gak suka deh..

    ReplyDelete
  2. Mbak...mbak... ya berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian;
    bersusah-susah dahulu, berkenyang-kenyang kemudian, dong.
    Gmn sih.... =D
    Kan banyak olahan kepiting, misalnya kerupuk kepiting, dll. Tinggal nyamm aja kan? ^ ^

    ReplyDelete
  3. Mmmmm.... (kenapa selalu ada "mmmm....."nya?) setau ane siy orang suka salah kaprah dalam menamakan makhluk dari famili decapoda-nya crustacea itu. Ada yang namanya kepiting bakau dan rajungan.Untuk orang kebanyakan semua itu dipukul rata dengan nama kepiting. Kalo bahasa latinnya itu Scilla cerata dan Portunus sp. (kalo ndak salah ya...maklum kuliahnya udah lewat bertaun-taun :D). Yang katanya haram itu karena hidup di dua alam adalah jenis kepiting bakau dan yang diperbolehkan itu adalah jenis rajungan. Karena yang kepiting itu hidup di dua alam, namanya habitat di bakau, ya dia mampu untuk bertahan hidup lebih lama di darat padahal dia hdia juga mampu hidup di air. Biasanya yang jenis kepiting ini kalo di jual di pasar udah berjam-jam (kayaknya maksimal 5 jam) dia masih bisa bertahan hidup. Lain halnya dengan rajungan yang thok hidup di perairan, ketika dijual di pasaran, taroh aja di daratan tu rajungan udah almarhum deh. Rajungan inilah yang boleh kita konsumsi.
    Untuk lebih jelas tentang morfologi dan gambar kedua spesies yang berasal dari satu famili ini bisa search aja di internet. Perbedaan bentuknya signifikan kok, jadi bisa diidentifikasi dengan kasat mata (kayaknya dari bentuk thoras atau kaki ya. ah lupa...) Jadi kalo mau beli ntar ga salah pilih. Jangan karena taste yang enak aja, kita jadi lalai dalam memperhatikan kehalalan makanan kita

    ReplyDelete
  4. Mbak, rajungan bukannya sejenis udang?? Udah lupa saya...
    BTW, tentang hewan yang hidup di dua alam (barma'i) itu ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan, dan ada yang menghalalkan. MUI sendiri sudah memfatwakan halal kan, tentang kepiting itu? Pasti dah berdasarkan pengkajian dari aspek biologi tentunya. Yang menjadi anggota LP-POM MUI kan bukan hanya ustadz, tapi juga master peternakan, teknologi pertanian, perikanan, biologi, dsb. Gitu kan? ^_^

    ReplyDelete
  5. alhamdulillah..akhirnya di posting juga...atin copas ya...buat referensi jawaban dari pertanyaan ummi di rumah...oiya...rajungan itu bukan udang tapi sejenis kepiting ..uenak lho ...

    ReplyDelete
  6. Oo... sejenis kepiting ya...
    Hmm.. jadi pengen... nyummii!! ;D

    ReplyDelete
  7. nah itu dia.. ttg rajungan ama kepiting bakau..
    sy dl jg prnh dkasih tau ustadz.. ktny klo rajungn itu yg halal.. kepiting bakau g.. uhm... klo yg d pasar yg warnany gelap alias item tu rajungn ato kepiting bakau y? soalny ad jg yg djual tp wrnny merah-coklat gt (ni bkn krn efek zat kitinnny lho ya.. lha wong yg djual d pasar kn blm direbus :D).

    ReplyDelete
  8. hehehhe... aku juga baru tau kalo kepiting itu halal baru-baru ini... padahal enak bangeeet..

    ReplyDelete
  9. Oke deh... yang rajungan itu bisa dihukumi secara mutlak: halal, karena tidak hidup di dua alam (melainkan di air saja).
    Namun, kepiting bakau yang hidup di dua alam berbeda, tidak bisa dihukumi secara qath'i sebagai haram. Karena ada perbedaan pendapat di antara para ulama salaf mengenai hal itu. Dan kita boleh mengambil salah satunya yang sesuai kemantapan kita, atau menurut kita paling kuat.
    Saya sendiri memilih bahwa kepiting itu halal. Wallaahu a'lam...

    Yang lain, boleh saya ikut pendapat bahwa kepiting yg hidup di dua alam tuh haram. Boleh-boleh saja. ^_^

    Sedang yang dipasar yang hitam itu yang mana... saya sendiri tidak tahu, karena belum pernah makan kepiting.... Hihihi.. :D

    ReplyDelete
  10. Waah.... jadi pengen mencicipi kepiting nihh... Kayak apa sih enaknya??
    Mak nyusss nggak ya?? =D

    ReplyDelete
  11. Nih.. tak kasih salinan tentang fatwa MUI mengenai kepiting...


    Fatwa MUI Tentang Kepiting
    Fatwa : KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA tentang KEPITING

    Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah

    MENIMBANG

    1. bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;

    2. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

    MENGINGAT

    1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :

    2. "Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).

    3. "(yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk... "(QS. al-A'raf[7]: 157).

    4. Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya". Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan panjang,.......... '(OS.al-Baqarah[2] : 172).

    5. Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, 'Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan (komentar),'Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu Hurairah), "Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR.Muslim).

    6. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya" (HR. Khat-iisa11),

    7. ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya

    8. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005

    9. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

    Memperhatikan :

    1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma'rifah Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar'al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian "Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan

    ReplyDelete
  12. ini yang lainnya..Coba deh baca lagi...
    (atau di IE tempat atin gak ke detect kali huruf2nya

    ReplyDelete
  13. Dah saya perbaiki tuh tulisan fatwa MUI-nya...

    ReplyDelete
  14. Out of topic..
    Mas,,kalau bekicot hukumnya gimana?
    Temanku pernah bawain kerupuk bekicot..mereka yang anak2 Jakarta gak tahu bekicot seperti apa mau memakannya. Niswah agak2 jijik..secara aku udah sering lihat bekicot..
    Sebenarnya hukumnya gimana ya? Boleh ya bagi yang nggak jijik?

    ReplyDelete
  15. Bekicot itu bisa dikategorikan sama dengan kepiting juga lho Nis. Secara umum analog dengan tulisan di atas.
    Tentang bekicot, dan juga bbrp hewan lain seperti kodok, kura-kura, kepiting, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, ada perbedaan pendapat (khilaf) di antara para ulama fiqh.

    1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
    Mereka berpendapat bahwa hewan ini tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmadn Ishaq, Alhakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.

    2. Al-Malikiyah
    Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kapiting (cancer) dan yang sejenisnya hukumnya boleh selama tidak ada nash / dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan atau kotor dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.

    3. Al-Hanabilah
    Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnnya. Seperti burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting.

    Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.

    ReplyDelete
  16. tapi aku pernah baca juga kalau bekicot itu menghukuminya dilihat dari jijik nggak-nya juga...

    ReplyDelete
  17. Kata "jijik" tidak dapat dijadikan dasar sebab (ilat) dimana sebuah hukum fiqh itu diistimbath (diputuskan). Yang menjadi dasar dimana makanan itu diharamkan adalah, salah satunya, karena makanan itu berbahaya bagi kesehatan.
    Nah, klo dari kejijikan itu dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan setiap pengkonsumsi maka, bisa diputuskan makanan itu haram.
    Namun, klo itu cuma terjadi pd bbrp orang sj, alias kasus, dan tidak bisa berlaku umum, maka gak bisa diputuskan seperti itu.
    Wallaahu a'lam...

    ReplyDelete
  18. iya maksudku bagi yang nggak jijik boleh2 saja dan sebaliknya..ntar deh tanya Bapak aja..:)

    ReplyDelete
  19. So, bukan berarti itu haram, krn status hukum itu berlaku umum. Lebih tepat klo:
    "Tidak thoyyib bagi dia (seseorang yg merasa jijik itu)."

    ReplyDelete
  20. yaaaaaaaaaaaaa siapa bilang haram??? Niswah kan nggak bilang begitu...coba deh baca commentnya Niswah. :p

    ReplyDelete
  21. Memang tidak bilang gitu, tapi Anti bilang:
    "tapi aku pernah baca juga kalau bekicot itu menghukuminya dilihat dari jijik nggak-nya juga..."

    Kata kuncinya: "menghukumi"
    Dan hukum itu (terkait makanan) ada : halal, haram, mubah, makruh.

    Padahal "menghukumi" itu tidak bisa dilakukan dgn kondisi yg ada.

    ReplyDelete
  22. dia kan ga termasuk hewan yang harus disembelih, tidak mengeluarkan darah, hidup di air/laut... semua yang hidup di laut halal kan kalau menurut al quran?
    maafkan kalau saya salah

    ReplyDelete
  23. Iya mbak Fitri, semua kepiting laut halal ^-^

    ReplyDelete