Sunday, July 13, 2008

Institut Manajemen Masjid

http://www.immasjid.com/
Situs Institut Manajemen Masjid. Berisi banyak artikel, panduan, dan banyak hal terkait dengan pengelolaan semua hal dalam aktivitas kemasjidan. Misalnya pengelolaan Takmir, Ramaja Masjid, TPA/TPQ, dan lain-lain.
Akan sangat membantu kita yang beraktivitas di wilayah ini.
Selamat mengunjungi...

Friday, July 11, 2008

Prosesi Pernikahan yang Sederhana


Oleh : Cahya Herwening


Pernikahan adalah bagian dari ibadah dalam Islam, baik sebelum, saat proses maupun sesudahnya. Sehingga mulai dari niat, orientasi, cara dan metode yang ditempuh untuk menemukan sang jodoh serta cara yang digunakan untuk melaksanakan prosesnya pun hendaknya sesuai dengan aturan dan adabnya. Aturan ini tentu saja mengacu pada aturan dari Sang Pemilik Aturan, yakni Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam artian, segala hal yang berkaitan dengan pernikahan itu disesuaikan dengan nilai-nilai syari’at Islam.

Proses pernikahan para aktivis dakwah, analog, tak juga lepas dari bagian dakwah. Baik sebelum, selama proses dan sesudahnya. Maka orientasi itu harus lurus orientasi bervisi tinggi, visi ukhrawi, dan cara pelaksanaannya harus ditempatkan setepat mungkin dalam rangka melakukan syi’ar dakwah kepada masyarakat. Pernikahan adalah sarana strategis karena di sana terjadi interaksi banyak orang, mulai dari kedua mempelai, kedua keluarga mempelai, tetangga dan para tamu yang hadir dalam pesta pernikahannya (walimatul ‘ursy).

Dalam proses pernikahan, yang menjadi salah satu titik kritis adalah pelaksanaan syukuran atau pesta pernikahannya. Sering terjadi konflik batin di sana, antara keluarga, orang-orang yang membantu acara tersebut dan para tamu. Penulis yang sering menjadi petugas sinoman (penyaji minuman dan hidangan) di kampung sering merasakan hal-hal seperti ini. Misalnya, kita tidak memahami dengan jelas seperti apa maunya si empunya acara. Banyak hal yang tidak perlu dilakukan, tapi dengan alasan gengsi atau gaya, maka harus begini begitu. Tapi tetap saja komando sering tidak jelas, bahkan para petugas cenderung sering harus memikirkan sendiri tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Padahal sering juga, sarana yang ada tidak lengkap, mulai dari alat makan dan pelengkap lainnya. Gelas yang kurang, piring dan sendok yang tidak mencukupi. Padahal tamu sangat banyak dan belum terlayani dengan baik, terkadang makanan yang disediakan kurang. Para juru masak di belakang harus bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan. Itupun kadang para petugas tidak kebagian jatah. Bukan karena apa-apa, namun jika secara fisik sudah terbekali sumber energi yang cukup niscaya bisa bekerja dengan lebih baik. Itu saja.

Itu sekilas yang sering terjadi di kalangan umum yang pernah penulis rasakan. Sudah acaranya kurang bermakna, merepotkan banyak orang mulai dari keluarga besar hingga masyarakat sekitar, mengecewakan para tamu sehingga yang menjadi petugas pun harus ikut menanggung malu. Tapi demi profesionalitas, tetap saja kita bekerja dengan sebaik-baiknya. Namun dengan catatan, kalau pekerjaan sudah cukup beres maka segera melarikan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Hehehe…. soalnya sudah cukup menanggung malu dan menahan jengkel.

Pernikahan para ikhwah aktivis dakwah hendaknya jauh dari sekilas contoh di atas. Harus ada makna yang terkandung di sana, ada hikmah yang bisa diambil, memuaskan para tamu meski acara digelar dengan sederhana, tidak merepotkan banyak orang terutama para tetangga tapi justru mereka menjadi bagian dari tamu yang tinggal menikmati acara, meski mereka juga sedikit banyak membantu acara kita. Satu hal yang perlu diperhatikan, yakni adanya syi’ar dakwah yang harus terasa di sana sehingga memberikan pencerahan kepada masyarakat bagaimana prinsip perhelatan pernikahan dalam Islam.


Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Ahad 29 Juni 2008, penulis cukup merasakan adanya suasana seperti ini. Sebuah pernikahan yang sederhana, tapi bermakna dan berlangsung khidmat. Tetangga juga tidak kerepotan karena hanya sedikit yang dilibatkan dalam acara tersebut sebagai bagian dari pembantu hajatan. Meski tamu yang hadir secara kuantitas lebih sedikit dari perkiraan penulis, tapi tetap tidak mengurangi makna acara. Saat itu penulis bertugas sebagai penjaga parkir, dan melihat tamu yang memarkirkan motor tidak seberapa dibandingkan luas area parkir yang disediakan. Harapannya sih, akan banyak anak-anak kampus yang datang. Tapi karena pada saat itu dilaksanakan juga pernikahan ikhwah yang juga dari fakultas yang sama dengan mempelai pria (Kehutanan) maka kemungkinan banyak juga yang ke sana.

Acara itu adalah akad nikah dan walimatul ‘ursy-nya salah satu senior penulis dalam urusan dakwah kampus. Beliau adalah Mbak Muawanah Fatmawati (Fatma), seorang sarjana Ilmu Keperawatan UGM yang dipersunting oleh Pak Arif Rahmanullah (Iip) seorang sarjana Kehutanan. Perhelatan dilaksanakan di rumah Mbak Fatma, di Muntilan, Jawa Tengah, yang penulis tiba di sana malam Ahadnya untuk ikut mempersiapkan untuk kebutuhan ketika hari H, keesokan harinya.

Akad nikah berlangsung pada pukul delapan lebih sedikit, dilaksanakan di dalam rumah Mbak Fatma. Prosesi ijab-qabul berlangsung cukup cepat. Beberapa saat kemudian sudah masuk ke persiapan acara walimatul 'ursy-nya. Saat walimah, kedua mempelai tidak berada dalam satu tempat sebagaimana biasa dilakukan. Tidak ada tempat duduk khusus seperti pernikahan pada umumnya yang memperlakukan kedua mempelai seperti raja sehari, didudukkan dalam semacam singgasana. Namun dalam perhelatan ini, si mempelai wanita ada dalam rumah, sedangkan mempelai pria duduk bersama para tamu. Di depan hanya ada mimbar, untuk para pengisi sambutan juga khatib khutbah nikahnya.

Setelah banyak yang memberikan sambutan, baik dari perwakilan keluarga masing-masing dan dari pemerintah desa setempat, berlanjut ke khutbah nikah yang diisi oleh Ustadz Syatori Abdurrouf tentang bingkai kehidupan rumah tangga. (Tulisan ulangnya bisa dibaca di sini). Sebuah khutbah nikah yang menarik dari segi isi dan penyampaian. Sayanganya tidak menggunakan slide presentasi sebagaimana yang biasa beliau lakukan saat mengisi kajian. ^_^

Setelah khutbah selesai, masuk ke acara pestanya yakni dikeluarkannya hidangan. Tidak ada sistem prasmanan di sini. Hidangan diantar oleh para petugas sinoman, dan disajikan kepada seluruh tamu. Setelah acara selesai bersamaan dengan berkumandangnya adzan sehingga para tamu segera menuju ke masjid yang letaknya beberapa langkah saja dari lokasi tersebut.

Dari semua perhelatan pernikahan ikhwah, baru kali ini saya menemukan yang sesederhana itu. Namun, justru di sana ada makna yang terkandung, ada ruh yang terasa. Karena memang seharusnya seperti itulah pernikahan aktivis dakwah, ada fungsi dakwah di sana. Bukan sekadar melaksanakan pesta dengan mewah beserta segala hidangan lezat yang tersedia dan ambil sendiri, tanpa ada makna atau ruh yang dapat di ambil dari sana. Wallaahu a'lam. [ ]

Empat Bingkai Kehidupan Rumah Tangga*

Oleh: Ust. Syatori Abdurrouf**

Seorang pelukis yang akan melukis tentu akan mempersiapkan terlebih dahulu apa-apa saja yang dibutuhkannya untuk melukis. Dia akan mencari kanvas tempat menorehkan catnya, dia juga membutuhkan kuas dan cat minyak. Selain persiapan fisik, sekalipun lukisan yang akan dibuatnya bersifat abstrak, tetap butuh sebuah gambaran tentang maksud apa yang terkandung di dalamnya. Minimal tema dari lukisan tersebut. Sehingga nantinya para penikmat lukisannya akan dapat mengambil pesan yang ada dalam lukisan tersebut.

Sebuah lukisan, apalagi yang abstrak, biasanya akan kurang indah dan bernilai rendah jika dia hanya berwujud lukisan dalam selembar kanvas. Namun akan sangat berbeda jika lukisan itu telah diletakkan dalam bingkai yang indah, maka nilainya akan berlipat ganda. Taruhlah misalnya lukisan tanpa bingkai lukisan itu berharga tiga ratus ribu rupiah. Maka jika dibingkai dengan indah, maka bisa jadi harganya mencapai lima juta rupiah, meskipun harga bingkai itu sendiri hanya beberapa ratus ribu atau bahkan hanya puluhan ribu. Itulah manfaat adanya bingkai itu, selain melindungi lukisan, akan dapat mempertinggi nilai sebuah lukisan.

Orang yang menikah adalah seperti halnya dua orang yang membuat sebuah lukisan abstrak. Mereka tidak tahu seperti apakah bentuk kehidupan nantinya setelah menikah itu, yang masih menjadi sesuatu yang misteri. Kemudian lukisan itu selesai dalam waktu sangat singkat, sebagaimana ijab qabul yang membutuhkan hanya beberapa menit, padahal membutuhkan waktu persiapan yang tidak sebentar. Bisa jadi kedua pelukis abstrak itu mempersiapkannya selama bertahun-tahun, hanya untuk sebuah even yang sesingkat itu.

Seperti halnya sebuah lukisan, kehidupan rumah tangga pun tidak akan menjadi indah manakala tidak ada bingkainya. Bingkai lukisan ada empat buah, yakni atas, bawah, kiri dan kanan, pun begitu pula bingkai kehidupan rumah tangga. Empat bingkai itu insya Allah akan membuat sebuah pernikahan dan kehidupan rumah tangga menjadi indah dan bernilai tinggi, bukan hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Allah Ta’ala.

Apa sajakah keempat bingkai mahligai pernikahan itu? Empat bingkai dalam kehidupan rumah tangga itu ialah:
1. Pikiran yang lurus
Yang dimaksudkan dengan pikiran yang lurus adalah menjadikan segala sesuatu sebagai sarana untuk mendapatkan cinta dari Allah. Mengorientasikan semuanya sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Mengesampingkan semua hal yang tidak bisa dijadikan sarana untuk bertaqarrub kepada Allah swt.

Kehidupan rumah tangga merupakan kehidupan yang akan penuh lika-liku, cobaan dan ujian. Mungkin saja suami akan menemui hal-hal yang bisa membuatnya marah, sebaliknya istri mendapati sesuatu yang membuatnya jengkel. Namun orang yang memiliki pikiran lurus justru akan memanfaatkan semua situasi seperti itu. Karena orientasinya adalah mendapat cinta Allah, maka dia akan berusaha apapun agar dapat membuat Allah mencintainya. Maka ketika  berada dalam situasi yang membuatnya marah, dia akan bersabar, karena dengan bersabar Allah akan mencintainya. Begitu pula jika sedang jengkel, maka kejengkelan itu bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah manakala dia mampu meredamnya demi mendapat ridho-Nya.

Semoga Allah merahmati seorang wanita yang ditemui oleh salah seorang shahabat Rasulullah saw. Wanita ini adalah wanita yang muda dan sangat cantik. Dia mengatakan kepada shahabat bahwa dia beruntung memiliki seorang saumi seperti suaminya, dan dia merasa bahagia. Ketika sang shahabat ini berkunjung ke rumahnya, dia dapati seorang laki-laki yang sudah tua, bertampang buruk, hitam dan miskin karena rumahnya sangat sederhana. Sudah begitu, tambah lagi keburukannya yakni dia suka marah-marah kepada istrinya. Tiada lain laki-laki itu adalah suami si wanita tadi. Meski dengan kondisi seperti itu, sang wanita tetap melayani suaminya dengan senyum dan pelayanan terbaik. Dia menanggapi kata-kata kasar suaminya dengan kehalusan budi pekerti yang baik.

Sang shahabat heran, bagaimana bisa si wanita mengatakan bahagia padahal kondisi suaminya seperti itu. Maka bertanyalah dia, “wahai fulanah, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kau merasa beruntung dan bahagia dengan kehidupanmu sekarang, padahal suamimu itu tua, buruk rupa, miskin dan tidak baik akhlaknya?” Seketika itu juga wanita itu menunjukkan muka yang tidak senang.

“Tuan, jikalau Tuan datang ke tempat ini hanya ingin membuat saya tidak ikhlas menjalani kehidupan saya, sebaiknya Tuan pulang saja.” Sang shahabat terkejut mendapat tanggapan seperti itu dari si wanita. Segera dia meminta maaf, namun tetap ingin mendengar jawaban pertanyaan yang diajukannya.

“Baiklah, akan saya jawab pertanyaan Tuan. Saya adalah orang yang sangat menginginkan cinta dari Allah ‘Azza wa Jalla, oleh karena itu saya senantiasa berusaha memperbaiki diri saya sehingga menjadi orang yang baik di mata-Nya. Namun ada satu hal yang sejak dahulu sangat sulit saya lakukan, yakni menjadi orang yang sabar. Apapun yang saya usahakan belum bisa membuat saya menjadi penyabar. Justru semenjak saya bertemu dengan suami saya yang sekarang ini, saya bisa belajar bersabar. Bersabar terhadap segala kondisi dan perlakuannya. Dan suami saya inilah yang membuat saya bisa menjadi orang yang sabar, karena saya melakukannya semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah swt. Dengan begitu saya bisa menjadi orang yang semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”

Subhanallah. Begitu luar biasa sang wanita tersebut. Jadi, dia menikah dengan laki-laki tua, buruk rupa, hitam, miskin dan jelek akhlaknya bukan dengan keterpaksaan namun justru dengan kesadaran. Dan itu semua adalah sarana dia meraih cinta Allah swt. Bagaimana dengan kita?

2. Bingkai yang kedua adalah: Hati yang bersih
Hati yang bersih bermakna tidak membesar-besarkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akhirat. Dengan kata lain, segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akhirat tidak perlu menjadi permasalahan. Kita fokus pada hal-hal yang ada hubungannya dengan urusan akhirat.

Karena pernikahan yang baik adalah pernikahan yang tanpa didahului oleh pacaran, maka biasanya ada beberapa hal yang sebelumnya tidak diketahui oleh pasangannya. Misalnya, ternyata setelah menikah menemukan bahwa hidung istrinya kurang mancung 2 cm keluar. Nah, bagi orang yang hatinya bersih tidak akan mempermasalahkan hal seperti itu, karena itu tidak ada hubungannya dengan akhirat. Beda halnya jika saat adzan shubuh, sang pasangan ini tidak segera bangun tapi malah semakin merapatkan selimutnya. Ini baru masalah karena hal seperti ini ada kaitannya dengan akhirat.

Maka hendaknya setiap pasangan dalam rumah tangga mampu menyeleksi mana-mana saja hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan mana saja yang tidak. Sehingga dia mampu memilah mana saja yang perlu diperhatikan, dan mana yang harus dihiraukan. Bukannya mempermasalahkan semua hal termasuk hal-hal kecil. Maka keluarga itu akan menjadi sebuah keluarga yang senantiasa berorientasi akhirat, dan bisa jadi hati-hati mereka telah berada di kampung akhirat jauh-jauh hari sebelum ruhnya.

3. Bingkai yang ketiga adalah: Kata-kata yang indah
Kata-kata yang indah yakni kata-kata yang menentramkan, membuat nyaman atau merasa aman bagi pasangan hidup. Kita contohkan saja seperti apakah kata-kata indah ini.

Pada suatu hari, sang suami harus pergi ke luar kota karena ada tugas-tugas terkait pekerjaannya selama satu bulan. Tentunya sang istri agak khawatir dan was-was, salah satu kekhawatirannya jangan-jangan suaminya ‘buka cabang’ di kota-kota lain. Sehingga sang istri masih kurang merelakan kepergian suaminya.

Suami yang mengetahui hal ini, hendaknya memberikan keyakinan kepada istrinya bahwasannya dia tidak akan apa-apa, dengan memberikan kata-kata yang indah tadi. Sang suami mengatakan, “Dhek, di dunia ini tidak ada wanita selain kamu. Engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini bagiku. Kamulah wanita tercantik untukku dan hanya kamulah wanita yang kucintai di dunia ini.” Mendengar kata-kata itu si istri akan tenang dan dapat melepas kepergian suaminya dengan perasaan aman.

Contoh lainnya, suatu hari sang suami menemui masakan istrinya yang asin. Entah karena salah memasukkan gula, atau karena istrinya sengaja untuk menguji. Maka suami itu mengatakan sambil senyum, “Dhek, masakanmu hari ini benar-benar luar biasa, lain dari yang lain.” Maka bisa jadi hati si istri berbunga-bunga. Tapi karena ingin memberikan pelajaran juga, maka, “ …. Karena aku ingin belajar itsar, maka makanlah sebagian makanan ini ya. Sini aku suapi…” Si istri akan tahu kesalahannya, namun tetap senang karena sang suami memberitahu dengan cara yang baik, bukan dengan marah-marah, misalnya dengan perkataan, “dasar istri apa kamu, masak saja tidak becus!” yang tentu saja sangat menyakitkan.

Nah, bagi pasangan yang sedang membina rumah tangga, maupun pada para pemuda dan pemudi yang belum menikah, belajarlah membuat kata-kata indah ini. Belajarlah membuat kata-kata yang enak didengar, menyejukkan, menentramkan dan membuat merasa aman. Jika nanti dibutuhkan pada saatnya, sudah siap dan dapat menjalani kehidupan rumah tangga dengan lebih baik.

4. Bingkai yang terakhir adalah: Perbuatan yang terbaik
Karena seseorang yang membina kehidupan rumah tangga memiliki pikiran lurus yakni menjadikan semuanya sebagai sarana taqarrub ilallah, dan berhati bersih yakni tidak membesar-besarkan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan akhirat, maka dia bisa melakukan perbuatan terbaik kepada pasangan hidupnya. Bukan hanya perbuatan yang baik, tapi dipilih di antara yang baik itu perbuatan yang terbaik. Pasangan hidup tentu saja akan sangat bahagia mendapati suami atau istrinya ini berbuat yang terbaik kepadanya.

Seorang suami yang pulang dari kerja dalam keadaan lelah, maka akan sirna kelelahannya mendapati istrinya menyambutnya dengan tergopoh-gopoh dan wajah yang manis lagi ceria. Apalagi jika sudah terhidang suguhan berupa minuman hangat dan makanan ringan. Akan sangat berbeda jika sepulang kerja, sudah lelah, si istri cuek dengan muka masam atau cemberut. Yang seperti terakhir ini akan membuat suami tidak betah di rumah.

Pada waktu dini hari, seorang suami bangun dari tidur. Dia melihat istrinya masih terlelap dengan nyenyak. Coba dibangunkan tapi belum bangun juga. Kemudian dia ambil wudhu, setelah itu kembali ke kamar dan membangunkan istrinya dengan percikan air sisa wudhunya sehingga istrinya bangun. Kemudian mengajak istrinya shalat tahajjud bersama. Pun begitu pula dengan si istri, saat bangun suaminya masih tidur. Lalu mencoba membangunkan suaminya namun belum juga bangun. Lalu si istri mengambil wudhu, setelah itu kembali ke kamar dan membangunkan suaminya dengan percikan sisa air wudhunya. Setelah suaminya bangun, diajak untuk shalat tahajjud bersama. Ah alangkah indahnya.

Bagian dari perbuatan yang baik adalah dalam hal panggilan. Seyogyanya pasangan suami istri memiliki panggilan spesial satu sama lain. Misalnya Mas-Adik, Abang-Adik, dan sebagainya. Meski nantinya sudah memiliki anak, panggilan ini jangan berubah menjadi Papa-Mama, Ayah-Ibu, Abbi-Ummi, atau yang lain karena dapat mengurangi kemesraan. Boleh saja memanggil seperti itu manakala di depan anak-anaknya, namun ketika sedang berdua, panggilan spesial ini tetap harus dipertahankan, bahkan hingga tua nanti.

Cara yang terbaik juga bisa diambil suami manakala ingin menegur, mengingatkan atau menasehati istrinya. Suatu saat, setelah shalat tahajjud bersama, kemudian membacakan do’a yang diamini oleh istrinya. “Ya Allah, jadikanlah istriku ini istri yang shalihah. Jadikan dia istri yang dapat menjadi penyejuk hati suaminya. Jadikan dia orang yang sabar. Jangan jadikan dia orang yang suka mengomel. ….” Pastilah si istri akan meng-amin-i, tidaklah mungkin akan menyela dan mengatakan, “Mas, kamu nyindir aku ya?” atau mengatakan “tidak amin ya Allah…”. Dari situlah istri bisa bercermin dan memperbaiki dirinya. Suatu saat pun istri tidak boleh kalah, “Mas, kan Mas sudah sering yang menjadi pembaca do’a. Sekarang giliranku yang membacakan do’a dan Mas yang meng-amin-i ya.” Dengan begitu keduanya bisa saling mengingatkan dengan cara yang terbaik dan bisa diterima keduanya dengan cara terbaik pula.

Nah, itulah empat bingkai yang Insya Allah dapat menjadikan lukisan abstrak sebuah kehidupan rumah tangga menjadi sesuatu yang indah dan tinggi nilainya. Semoga Allah Ta'ala merahmati kita semua sehingga bisa mengusahakan adanya empat bingkai tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga kita semua, sekarang (bagi yang sudah berkeluarga) atau pun nanti (bagi yang akan). Wallaahu a'lam. [ ]



* Disampaikan oleh Ust. Syatori Abdurrouf dalam khutbah nikah di walimatul ‘ursy-nya Mbak Muawanah Fatmawati, 29 Mei 2008. Ditulis ulang oleh Cahya Herwening dengan beberapa tambahan.

** Ust. Syatori Abdurrouf adalah pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswi Daarush Shalihat, Pogung, Mlati, Sleman, Yogyakarta.