Tuesday, May 5, 2009

"One Step to Japan" *)

 

Oleh: Firman Alamsyah, M. Si. **)

 

Judul itu saya tulis di papan tulis Edwartech, ketika saya belajar bahasa Jepang dan persiapan untuk tes dan wawancara beasiswa Monbusho. Saya tulis "one step", karena masih ada beberapa langkah lainnya untuk bisa sekolah ke Jepang. Untuk satu langkah saja (one step), harus mempersiapkan diri ekstra keras. Apalagi langkah-langkah berikutnya. Berikut ini ceritanya ....

Alhamdulillah, saya lolos seleksi beasiswa Monbusho Research Student tahun 2008. Itu adalah nikmat dan anugerah Allah yang selalu ditunggu-tungu para pejuang pencari beasiswa. Sebagaimana para pejuang pencari beasiswa lainnya, untuk memulai perjuangan, harus punya modal yang bagus terlebih dulu, seperti:

  1. CV yang memperlihatkan track record akademis

  1. TOEFL >550

Untuk memperoleh TOEFL >550, saya sendiri harus 4 kali mengikuti ITP TOEFL. Pertama 520, terus 530, 553, terakhir 570. Untuk mendapatkan TOEFL seperti itu, bisa diperoleh dengan belajar rutin 1-2 jam selama 4 bulan. Untuk belajar mandiri bias beli bukunya di toko buku.

 

  1. Jaringan

Untuk mendapatkan profesor di Jepang, saya sendiri dikenalkan oleh dosen UGM dan dosen ITB. Jadi. berbaik-baiklah dengan dosen-dosen Anda di kampus.

 

  1. Proposal yang menarik

Sebelum proposal saya dikirim ke profesor di Jepang, sudah direvisi oleh dosen UGM tersebut sebanyak 2 kali, terus sama profesor di Jepang direvisi 2 kali juga. Jadi proposal yang saya kirim untuk apply monbusho sudah oke. Ada kasus yang menarik dialami dosen peternakan UNDIP yang lolos wawancara. Waktu apply, TOEFL-nya tidak lolos sebenarnya, tapi karena proposalnya menarik ia ditelpon staf kedubes Jepang untuk mendapatkan TOEFL 550, bukan ITP juga gak apa-apa. Tapi jangan coba-coba kirim aplikasi dengan TOEFL dibawah standar. Ini cuma kasuistik saja, mungkin memang rezeki yang bersangkutan.

 

  1. Pengecekan form aplikasi

Form aplikasi sebelum dikirim, minta dicek dulu sama teman yang alumni Jepang, agar tahu selera orang Jepang. Thanks banget buat DR. Edi Sukur yang sudah mengobrak-abrik form aplikasi saya. Makan sushi-nya nanti kalau sudah di Jepang ya. Tapi gak janji ya…

 

  1. Penyusunan semua dokumen dengan rapi dan sesuai urutannya. Jepang sangat ketat dengan administrasi.

  1. Mengantar dokumen

Dokumen diantar langsung ke kedubes, karena jika ada kesalahan susun, langsung bisa diperbaiki di kedubes. Kadang yang tidak tertera di peraturan di website, ternyata di kedubes berlaku. Dan application form yang diterima di Jepang cuma yang asli dari kedubes, bukan yang download di website. Formnya berbeda dan harus dikirim yang asli, bukan hasil print. Ini saya alami sendiri. Mungkin kalau dikirim via pos, dokumen saya sudah masuk tong sampah kedubes.

 

  1. Berdoa

Yang namanya mendapat beasiswa merupakan rezeki masing-masing. Sepintar apapun seseorang, kalo bukan rezekinya, belum tentu dapet beasiswa. Meski gak pinter-pinter amat kayak saya, kalau sudah rezekinya, ya bakal dapet. Alhamdulillah…

 

  1. Satu hal lagi, bagi yang punya tampang mujahidin Afghanistan, sebaiknya jenggotnya dicukur dulu yang rapi, baru kemudian difoto. Jangan sampai gara-gara foto, orang Jepang udah takut duluan. Ada teman yang tampangnya kayak mujahidin Afghan, belum pernah lolos seleksi beasiswa, padahal track record akademisnya jauh lebih bagus dari saya. Dari beasiswa monbusho, ADS, Fullbright, IDB dan banyak lagi, sudah dicobanya. Ya mungkin memang belum rezekinya ya.


Lolos seleksi dokumen, merupakan anugerah yang luar biasa, karena hanya kurang dari 100 orang (sekitar 90-an) yang dipanggil tes bahasa dan wawancara monbusho. Untuk persiapan tes bahasa, saya belajar bahasa Jepang 1 bulan sebelum pengumuman lolos dokumen. Walau ini sebenarnya juga gak nolong banget, paling gak bisa baca hiragana dan katakana, walau belum tentu tau artinya. Paling gak saat tes, kelihatan serius ngerjainnya soalnya orang Jepang senang dengan orang yang (kelihatannya) pantang menyerah. Antara pengumuman lolos dokumen dengan  tes bahasa, bedanya hanya 1 minggu, jadi lumayan mepet kalau gak ada persiapan sejak awal.

Selain tes bahasa jepang, ada tes bahasa Inggris (klasik) juga. Asli susah, lebih susah dibandingkan TOEFL. Kabarnya, di antara tes bahasa Jepang dan tes bahasa Inggris, nanti diambil nilai yang terbaik.

Saya sarankan ambil kedua tes tersebut, walau gak bisa mengerjakan tes bahasa Jepang. Yang menarik dari tes bahasa tersebut, ternyata dari 4 meja terdepan, 2 meja terdepan yang masing-masing berisi 3 orang, termasuk saya, lolos semua. Mungkin ada baiknya, jika Anda lolos seleksi dokumen terus di tes bahasa, ambil meja terdepan. Tapi gak tahu juga, berpengaruh apa tidak. Tapi ya, tidak salah juga kan, kalau duduk di depan. Lalu jangan coba-coba buka soal sebelum ujian dimulai dan nyontek. Watch out, ada kamera yang mengintai (katanya). Ada teman di meja belakang saya yang ketahuan membuka soal sebelum ujian dimulai, akhirnya tidak lulus.

Untuk tes wawancara harus berhadapan dengan 5 orang panelis, 3 dari Jepang dan 2 dari Indonesia. Ini pengalaman kedua, diwawancara oleh orang asing untuk mendapatkan beasiswa. Sewaktu dapet beasiswa S2 dari Austria, diwawancarai oleh 3 orang dari Austria dan 1 Indonesia. Satu hal yang penting dari wawancara adalah first impression. First impression bisa dilihat dari cara berpakaian, cara bersikap ketika masuk ruang dan jawaban dari pertanyaan pertama. Setiap wawancara beasiswa, saya selalu mengenakan jas. Jangan lupa sikat gigi dan mandi yang bersih. Kalau ini sih harus ya ....


Pengalaman ketika wawancara, 1 orang Jepang ngomong Inggrisnya gak jelas, kayak orang lagi kumur-kumur. Setelah dicerna, baru tahu saya, apa yang dimaksudkannya. Wawancara berlangsung sekitar 30 menit. Yang penting nyerocos terus. Alhamdulillah hampir semua pertanyaan dari panelis, sudah saya siapkan jawabannya. Jadi panelis tampaknya puas dengan semua jawaban saya. Sempat juga disuruh ngomong dalam bahasa Jepang. Untuk menghadapi wawancara, saya menyiapkan waktu 1 minggu full, sampai menginap di lab Edwartech.

 

Waktu saya wawancara, ada 4 orang peserta lainnya yang masuk dalam jadwal yang berurutan. Ada yang alumni UI dan ITB, yang mahasiswa ITB juga ada. Kebetulan saya mendapat urutan yang terakhir. Ada peserta yang keluar ruang, matanya berkaca-kaca, karena gak bisa jawab pertanyaan teknis keilmuan dari panelis. Ada yang cerah ceria, karena wawancaranya santai dan cuma ketawa-ketawa di dalam ruang. Ada yang mau nangis karena dibantai sama panelis. Intinya, kita harus persiapkan betul semua jawaban dari pertanyaan yang mungkin ditanyakan panelis, terutama ketika kita mempresentasikan proposal riset dan menjawab keilmuan yang berkaitan dengan riset kita. Jangan sampai gagap, nyerocos aja terus. Paling juga orang Jepangnya gak ngerti, kali.... Oh ya, bagi yang pernah riset di Jepang, sangat membantu saat wawancara.

Sebelum berangkat ke Padang, untuk mengisi acara MITI-Mahasiswa di Sumatra, ketika di bandara Soekarno-Hatta sambil menunggu pesawat, saya ditelpon kedubes Jepang, bahwa saya lulus primary screening. Alhamdulillah, itu 2 minggu setelah saya tes wawancara. Jadi ke Padang dalam kondisi bahagia, walau disambut lampu padam, gak masalah.

 

Alhamdulillah saya sudah mendapat letter of acceptance (LA) dari profesor di University of Tokyo (Todai). Untuk mendapat LA dari profesor tersebut, saya harus mengirimkan berkas aplikasi Monbusho ke Graduate School yang kita tuju, nanti akan diproses oleh staf di sana. Saya kirim juga copy berkas aplikasi ke profesor. Untuk amannya, kirim berkas melalui jasa kiriman yang sudah terpercaya. Selain aman juga lebih murah dibandingkan jasa pengiriman lokal. Dari cerita beberapa teman yang lolos Monbusho juga, untuk mendapatkan LA, ternyata prosesnya berbeda di tiap universitas dan profesor. Ada yang gampang banget, sampai dapet 3 profesor seperti di Nagoya, ada yang harus test dulu seperti di TIT (Tokyo Institute of Technology) dan SOKENDAI, ada yang cuma kirim soft copy via email ke profesor, tanpa harus mengirim berkas aplikasi ke Jepang, dan profesornya yang mengurus pendaftaran di kampusnya. Memang rezeki masing-masing. Sebelumnya di Todai, saya sudah dapat profesor di SOKENDAI (Graduate School of Advanced Studies), sekolah khusus S3. Tapi karena profesornya tahu, saya cari profesor lain, akhirnya beliau menolak saya masuk labnya. Hal ini memang cukup sensitif. Tapi ada temen yang dapat 3 profesor, dan profesornya sama-sama tahu, ternyata tidak masalah. Memang rezeki masing-masing.

 

Untuk masuk program S2 dan S3 di Todai, saya harus lolos tes GRE dulu. Tesnya bisa diambil di Indonesia. Untuk masuk program S2 dan S3 di universitas Jepang, pada umumnya ada tes masuk terlebih dulu. Tesnya bisa berbeda-beda di tiap universitas. Jadi peraih beasiswa Monbusho, baru berstatus research student, jadi di Jepang harus berjuang lagi untuk bisa masuk program S2 dan S3. Makanya tulisan ini berjudul "One step to Japan". Setelah berbagai proses yang telah dilalui. Insya Allah saya dan teman-teman peraih beasiswa Monbusho, akan berangkat 1 April 2009.

 

Sebagai penutup, saya ingin berpesan kepada yang ingin mendapatkan beasiswa, bahwa berjuang mendapatkan beasiswa itu, bukan menunggu durian runtuh, jatuh terus dibelah (bahkan kadang sudah belah sendiri) dan dimakan. Istilahnya gratisan gitu. Tapi take it for granted. Berjuang mendapatkan beasiswa itu, seperti memanjat pohon kelapa. Penuh dengan effort. Ketika di atas pun, harus berusaha menjatuhkan kelapanya, itu pun dengan usaha. Jadi kalo ada orang yang menawari beasiswa, bukan serta merta gratisan. Semuanya ada mekanisme standar yang harus dipenuhi dan dilewati oleh para pejuang pencari beasiswa. Oke sementara ini dulu cerita saya, raih masa depan Anda dan masa depan negeri ini. [ ]

 

 

*) Ditulis oleh Firman Alamsyah, M.Si. dengan editing seperlunya.

*) Penulis adalah Ketua Biro Pelajar dan Mahasiswa MITI

Dan Awardee of Research Student Monbukagakusho Scholarship 2008 at University of Tokyo Japan.

14 comments:

  1. Syukron akh..
    ana copas ke Blog ana ya..
    Punya kontak beliau ga ?
    Terutama YM.. :)

    ReplyDelete
  2. minta alamat email pnulisnya mz...
    hehehe, makasi

    btw, kapan brangkat juga ni?

    ReplyDelete
  3. Yup, silakan copas aja gpp. Kontak beliau ada lah, tentu saja....
    YM jg ada.

    ReplyDelete
  4. Alamat email pak Firman ada dong .. :)
    Berangkatnya jika ada kesempatan nantinya hehehe.

    *Eh, meikha kok berkumis?????*

    ReplyDelete
  5. hehehe, bagi dunk emailnya
    kirim di message multiply ja mz...
    ok ok ok?
    hehehehe

    iya ni, kumisnya baru dipotong kalo nanti mo brangkat ke tokyo, hahahaha
    makasi maz

    ReplyDelete
  6. Oke, saya kirim via PM ya...

    Weleh, kumisnya bikin orang takut tuh..., jadi kayak pak Raden :D

    ReplyDelete
  7. syukran, kak.. eh, ya, syukran jg buat filenya.. ^^

    ReplyDelete
  8. japannnn,,,

    shugoiii neee!!!

    wah, ka,, saya juga boleh minta emailnya pak firman???
    beliau ketua MITI kan? Masyarakat ilmuan dan teknologi indonesia?

    ka kirim ke email saya yah: disiniada_riska@yahoo.co.id

    jazakallahu,,

    ReplyDelete
  9. Udah dikirim ke email anti ukhti.
    Pak Firman bukan Ketua MITI. Ketuanya: Dr. Warsito.

    ReplyDelete
  10. syukran

    saya boleh minta email pak firman? kalau boleh tolong kirim ke email saya irvanda.kurniadi@ui.ac.id

    jazakallah

    ReplyDelete
  11. Maaf dulu tidak terbalas. Lama tidak OL di sini :(

    ReplyDelete