Thursday, February 4, 2010

Dan Saya pun Menangis …

Ditulis oleh seorang sensei(guru)-ku


Ini kali kedua saya menangis saat menyupir kendaraan. Pertama kali saat melaju di atas 100km/jam di jalan tol sepanjang 40km. Sepanjang jalan itu saya mengucurkan air mata sambil berteriak sekerasnya. Saya sempatkan menelpon seseorang, tapi tak ada sepotong katapun yang bisa keluar selain tangisan yang membuat kepanikan soulmate di ujung telpon. Tangisan karena kelemahan dan ketidakmampuan menghadapi lingkungan yang tidak sesuai dengan idealisme yang mendarah daging. Hari ini kejadian itu berulang. Tidak selama yang pertama dan saya masih bisa mengendalikan diri. Saya sempatkan memarkirkan mobil di pinggir jalan dan merenung sepuasnya.

Berawal dari perjalanan menuju satu tempat di sore hari bersamaan dengan rintiknya hujan. Seperti biasa, sepanjang perjalanan saya selalu menyetel TV sebagai teman kesepian mengarungi macetnya Jakarta. Ada beberapa channel favorit, salah satunya adalah acara “minta tolong” yang disiarkan oleh RCTI pada sekitar pukul 4 sore.

“Minta tolong” Kali ini bercerita tentang seorang ibu setengah baya yang akan membeli susu untuk anaknya, namun tidak punya uang. Di tangannya hanya ada segenggam padi yang akan dijual seharga Rp.30.000. Berjam-jam ibu ini berkeliling mencari target, puluhan orang sudah dihampiri dan ditawarkan tapi tak satu pun yang mau membeli padi itu. Wajar, karena mau diapakan padi segenggaman tangan itu? Ingin dimakan, masih perlu proses panjang . Andaikan dijual lagi pun belum tentu laku. Ibu ini terus berusaha mencari orang yang mau membeli padi itu. Sampai satu saat dia sampai ke sebuah sekolah, menjumpai seorang ibu penjual kue. Ibu ini mencoba merayu ibu penjual kue dengan mengatakan bahwa hasil penjualannya itu digunakan untuk membeli susu.

Awalnya, hatinya tidak tergerak sama sekali, tetapi setelah berkali-kali mendengar kata-kata “susu untuk anak” hatinya luruh. Diberikannya hasil penjualannya hari itu sebanyak Rp.30.000 kepada sang ibu penjual segenggam padi. Entah apa yang ada dalam pikiran ibu itu saat memutuskan memberikan uang itu, padahal dalam satu hari dia hanya mendapatkan uang antara Rp. 40.000 sampai Rp. 50.000 saja. Itupun belum tentu, karena terkadang dia harus membawa kembali barang dagangannya pulang terutama pada saat musim hujan seperti ini.

Berurailah air mata saya. Ini bukan kali pertama saya menonton acara itu, tapi belum pernah sekalipun saya terhanyut sampai meneteskan air mata. Entah mengapa saat itu yang hadir di pelupuk mata adalah orang-orang yang telah saya kenal bertahun-tahun. Aktivis-aktivis dakwah yang saat masih menjadi mahasiwa punya segudang idealisme. Akan tetapi itu semua luntur sedikit demi sedikit bersamaan dengan berjalannya waktu. Yaah, luntur sedikit demi sedikit, bahkan sebagian sudah lupa terhadap apa yang pernah akan diperjuangkannya.

Dulu begitu senang diajak berdiskusi tentang kebijakan yang berprinsip keadilan, sekarang lebih senang diajak berdiskusi tentang kesejahteraan.

Dulu masih senang berbicara apa yang bisa kita lakukan untuk mengangkat derajat bangsa, sekarang lebih senang berbicara apa yang bisa dilakukan untuk mengangkat derajat dirinya.

Dulu sedemikian tulusnya melakukan sesuatu atas nama dakwah, sekarang setiap pertemuan pun ada harganya.

Huhh .. kenapa semua harus diukur dengan materi? Salahkah saya menilai semua ini. Orang anehkah saya kalau saya menuntut kepada mereka yang mengaku sebagai da’i untuk mau bersama-sama kembali memikirkan bangsa ini? Bukan sekedar membicarakan “siapa mendapat apa?”

Tidak pernahkah kita mendengar ribuan orang yang kelaparan dan jutaan bayi yang kekurangan gizi. Sementara mereka yang hidupnya sudah berkecukupan (bahkan sebagian sudah lebih dari cukup) masih sempat mencari celah bagaimana memanfaatkan dana-dana yang seharusnya diperuntukkan kepada orang-orang yang sengsara tersebut.

Yaah .. saya menangis karena saya teringat dengan orang-orang itu. Orang-orang yang hari-harinya disibukkan hanya untuk dirinya sendiri padahal mereka mengaku dirnya adalah seorang Da’i. Lebih takut lagi seandainya saya terseret menjadi seperti mereka dengan amanah-amanah yang sekarang ada. Naudzubillah.

“Saya baru sadar, bahwa ketulusan hati seseorang bukan hanya milik aktivis dakwah, tetapi milik siapa saja. Bahkan orang biasa pun terkadang lebih sensitif dan lebih tulus, seperti yang dicontohkan ibu penjual kue tersebut. Allah Maha Besar lagi Maha Mengetahui”.

Jakarta, 4 Feb 2010 (dini hari)

5 comments:

  1. astaghfirullah... warning buat saya!!!
    jazakallah

    ReplyDelete
  2. Waiyyaki...
    Smg kita diberikan kekuatan utk istiqomah.

    ReplyDelete
  3. wah sama kak, setiap diperjalanan mudik saya sering melihat seperti itu rasanya ingin membantu tapi tak punya uang cukup akhirnya saya hanya bisa mendoakan mereka.. :( kadang-kadang saya menutup mata saya supaya saya tidak melihat mereka karena merasa kasian tapi Allah selalu saja menggagalkan rencana itu..

    ReplyDelete