Tuesday, March 27, 2007

dakwatuna.com

http://www.dakwatuna.com/
Alamat website ini diinfokan oleh seseorang dan direkomendasikan oleh beberapa orang untuk dikunjungi. Menurut kabar yang saya dengar, banyak hal (ilmu) yang bisa diperoleh dari sana, materi-materi tatsqif yang jelas bisa menambah wawasan keilmuan kita. Setelah dilihat sebentar, e... ternyata benar. Wah, perlu disempatkan mengunjungi secara rajin nih.... :)

Tuesday, March 20, 2007

Syariah Online

http://www.syariahonline.com/
Ini dia, pusat konsultasi syari'ah. Bagi kita yang ingin berkonsultasi, karena belum tahu atau karena ada beberapa masalah, terkait ibadah, muamalah, politik, pernikahan, Al Qur'an, Hadits, dsb. (pokoke lengkap), buka aja situs ini.
Insya Allah dipandu oleh ustadz-ustadz yang kompeten di bidangnya.

Ebook Islam.Buku Islam. Artikel Islam, Buku/ebook Kristologi

http://www.pakdenono.com/
Wah, ini dia salah satu website terkeren yang pernah kutahu. Tampilannya sangat sederhana, tapi sangat besar manfaatnya. Pak De Nono emang bisa aja.
Di sini bisa download gratis macam-macam e-book, misalnya buku-buku Harun Yahya, lalu kitab-kitab juga. Selain itu MP3 ceramah. Banyak deh. Semuanya menarik, sangat menambah pengetahuan dan tentunya bermanfaat. Coba aja... Dan download sepuasnya!!

Ingin Kunyanyikan Bersama Pendamping Hidupku Nanti





Ichiban kirei na sora wo tobouyo, tashika na mirai e "try!"

Negai wa hitomi no naka kagayaite afureru egao.


Nagare ni tsubasa wo azukete, ima wa furikae razuni.


Meguri aeta kiseki wa "pleasure line", yakusokushita yo ne.


Ichiban kirei na sora e tobouyo, nando taorete mo "try!"


Kizutsuki nagara tsukamu ashita, yasashiku tsuyoku kataru kimi wa wasurenai itsumo...


Kokoro wo nurashita ame, hitoshi zuku hikari ni tokete.


Itami ni furueru tsubasa mo chiisa na ai wo mamoru no.


Wasurenai de sekai wa "pleasure line", kesshite kowakunai.



Mihatenu sora wo futari de tobouyo, te wo hanasanai de "fly!"


Samayoi nagara motomeru yume, asayake no matsu oka de kimi wa atsuku dakishimete.


Omoi daseba hoho ni kaze wa fuite.


Watashitachi no mae ni michishirube oite kureru.


Mihatenu sora wo futari de tobouyo, te wo hanasanai de "fly!".


Samayoi nagara motomeru yume, asayake no matsu oka de kimi to.


Ichiban kirei na sora wo tobouyo, tashika na mirai e "try!".


Kizutsuki nagara tsukameba ii, yasashiku tsuyoku kataru kimi wa asayake ni "fly away".


[Tsubasa wa Pleasure Line]

Wednesday, March 7, 2007

Banjir di Tengah Malam




Oleh : Cahya Herwening


Malam itu, aku baru pulang dari kampus. Seperti
biasa, bagi aktivis kampus sepertiku pulang malam, bahkan tak jarang aku tidak
pulang sama sekali.
Pernah juga sampai dua hari. Ibu sering
menanyakan; “nek ora mulih ngono kuwi le mu turu neng ngendi to Le?”
(“kalau gak pulang gitu kamu tidurnya di mana sih Nak?”)


Dengan santai aku menjawab “nggih ten pundi-pundi saged, Mak. Kancanipun
kathah kok. Menawi perlu, tilem ten mesjid njih saged.
” (ya di mana saja
bisa, Bu. Temannya banyak kok. Kalau perlu, tidur di masjid juga bisa.”

Yo uwis. Tur nek ora bali yo
ngabari, nges-em-es kakangmu. Men ora dadi pikiran. Sanajan kowe ki cah lanang,
yen ora ono kabar opo-opo Mamak ki yo mikir Le
.” (Ya sudah. Tapi kalau
tidak pulang ya mengabari, meng-SMS kakakmu. Biar tidak jadi pikiran. Meski
kamu itu anak laki-laki, kalau tidak ada kabar apa-apa Ibu juga mikirin kamu
Nak.)


Begitulah.
Tidak hanya sekali pembicaraan itu terjadi. Yah, aku tidak tahu kalau orang
seperti aku juga ada yang memikirkan. Dasar, tidak tahu diri sekali. Harusnya
aku paham, orang tua sudah semestinya memikirkan keselamatan putra-putrinya.
Dan sekarang aku diingatkan, bahwa orang tua yang normal pastilah sangat
menyayangi putra-putri mereka. Menginginkan yang terbaik bagi mereka. Termasuk
aku tentunya, meski aku sudah sebesar ini, meski aku sering mengklaim diriku
sudah dewasa. Nyatanya, cinta orang tua pada anaknya tiada habisnya. Bagai
mentari yang senantiasa menyinari bumi, hangat lagi menghidupkan.


Aku
tiba di rumah sudah lebih dari jam delapan malam. Ah... lelah sekali rasanya badan ini. Kuputuskan beristirahat
sebentar sebelum melakukan yang lainnya, mandi, makan malam dan mengerjakan
tugas.


”Sudah
shalat Isya’ belum?” tanya Ibu.


”Sudah,
di kampus tadi.”


”Kalau
gitu cuci tangan dan cuci muka dulu
sana gih, lalu makan.”


”Makannya
nanti aja Bu, tidak sehat jika habis perut kosong langsung di isi makanan
berat.” sahutku.


”Ya
sudah. Oya, tadi kakakmu membawa gorengan dan beberapa plastik es teh. Ada sisa
dari warung, lalu dibawa sekalian ke sini.”


Wah, seger nih, siiiplah, pikirku. Aku
pergi ke sumur, menimba air untuk cuci tangan dan muka. Setelah itu aku membuka
lemari makan, mencari kalau ada makanan ringan yang bisa dijadikan warming up bagi pencernaanku. Wah, selain gorengan ada pisang ambon juga,
lumayan nih
. Aku merebahkan diri di kursi, menemani yang sedang asyik
menatap layar kaca sambil makan gorengan dan minum es teh.
Segar sekali rasanya, saat lelah dan panas
seperti ini minum es teh. Berkali-kali aku mengisi ulang es teh ke dalam
gelasku. Kebetulan acaranya juga cukup asyik, tayangan komedi.


Seperti biasa, jika aku pulang malam pasti
bawaannya lelah dan ngantuk. Hingga
biasanya beberapa kegiatan di malam hari yang sudah direncanakan dari kampus,
misalnya mengerjakan tugas, mengetik dan sebagainya, gagal dikerjakan.
Menyesal-menyesal ketika paginya. Duh...
kenapa tadi malam aku tidur ya
? Padahal tidurnya ketika duduk-duduk di
kursi, beristirahat sejenak melepas lelah sambil menonton televisi.
Mestinya karena menonton televisi itu,
harusnya kan menyegerakan mengerjakan hal-hal yang perlu dulu. Yaah ... mungkin
jiwa ke-Indonesia-anku masih kental pada diriku, jiwa malas dan suka menunda
pekerjaan.


Entah kenapa acara televisi tiba-tiba
berubah menjadi film action. Tokoh
utamanya ternyata diperankan oleh salah satu aktor favoritku, Jackie Chan! Wah,
keren. Yang ini belum pernah nonton nih. Biasanya film yang diputar di
televisi sering diulang-ulang beberapa kali, sampai hafal jalan ceritanya. Kalau
yang kulihat ini, sama sekali belum pernah ditayangkan, atau paling tidak, aku
belum pernah menontonnya di televisi.
Bagus sekali aksi jagoanku itu. Cool!
Di awal film sudah mulai eksyen dengan
’memamerkan’ kegesitan dan kelincahannya, bagaimana nanti ketika klimaks, pasti
lebih keren lagi.


Begitu iklan, aku langsung lari menuju
ruang makan.
Mengambil
piring, nasi, sayur dan lauk. Setelah itu “lari” lagi ke depan televisi.
Pokoknya tidak mau ketinggalan film itu, sudah seru, pemerannya aktor favoritku
lagi. Kutonton film itu sambil makan malam.


Hampir tak kusadari bahwa ternyata aku
menonton televisi sendirian. Lho, ke mana
yang lain? Tadi, rasanya ada ibu dan kakak yang ikut menonton, tapi sekarang
kok tiba-tiba mereka tidak ada
?
Namun serunya film membuat pikiranku lebih fokus menikmati jalannya cerita.
Bener-bener keren, cerita maupun aksinya. Tapi ... masya Allah, apa ini benar?? Di dalam film itu Jackie Chan
memerankan tokoh muslim. Jackie sholat!!


Aku
mulai dapat mengikuti jalinan cerita film itu. Film itu berkisah tentang
seorang perantauan muslim Cina di negerinya Paman Sam. Santernya isu terorisme
dengan tuduhan muslim sebagai pelakunya membuat warga muslim di Amerika selalu
di rongrong keselamatannya. Mereka dicemooh, dihina, dimarjinalkan bahkan tak
jarang dianiaya atau dirusak barang miliknya. Tokoh kita termasuk yang menjadi
korban. Tapi bedanya, dia berupaya melawan segala upaya terorisme yang
sebenarnya kepada warga muslim, yang ternyata ada konspirasi di balik itu
semua.


Jackie,
yang di dalam film bernama Zaki berupaya menguak penyebab dan pelaku
peristiwa-peristiwa itu. Siapa dalang di baliknya. Kalangan musuh sering
kewalahan menghadapi ulah Zaki. Sehingga merekapun tak segan-segan mencarai
data lengkap dirinya, dan menyewa agen rahasia yang super ahli bela diri untuk meringkus Zaki.


Adanya
beberapa kejadian, membuat Zaki mulai menyadari situasi yang sebenarnya, bahwa
ada rekayasa untuk menghancurkan umat Islam di Amerika. Dugaan itu diperkuat dengan
ditemukan olehnya beberapa bukti. Namun, Zaki tidak menyadari bahwa ada orang
yang akhir-akhir ini selalu mengintai dan menguntitnya. Suatu ketika, saat dia
kembali memperoleh fakta dan bukti, tiba-tiba ada yang memukul tengkuknya dari
belakang. Seketika itu juga dia pingsan.


Ketika
Zaki sadar, dia sudah berada di dalam kurungan tahanan bersama beberapa orang
lain. ”Alhamdulillaah, kamu sudah
sadar Saudaraku,” kata salah satu penghuni sel tahanan itu.


Zaki mengamati sekelilingnya, ”Di ... di
mana aku?”


“Kita
berada di Guantanamo ... “


“Guantanamo??”


Tiba-tiba
sipir penjara bersama beberapa orang berbadan besar mendekati sel itu.
Mereka membuka pintu sel tahanan dan
mengeluarkan Zaki dengan paksa. Di antara mereka ada yang membawa pentungan
pula. Mereka menari-nari sambil tertawa mengejek.


”Sebaiknya
kita apakan nih, cecunguk ini?” Salah
satu dari mereka membuka pembicaraan. Yang dari situ jelas sudah maksud mereka
mau apa.


”Apa
sajalah, yang jelas, kita jadikan pembuka latihan kita pagi ini.” Pembuka
latihan kata mereka?


”Ah,
sayang sekali. Tadi malam dia masih pingsan. Kalau tidak, malam pertamanya di
sini harusnya menjadi malam terindah baginya, yang tak akan dia lupakan selama
hidupnya. Ha...ha....ha.....” Yang sedang membawa pentungan tertawa
menjijikkan.


”Biarlah.
Itu rejekinya. Sebagai gantinya, kita buat pagi ini adalah pagi yang paling
indah baginya. Ha...ha...ha...” sahut yang lain. Tiba-tiba, bukk!! Perut Zaki
disodok dengan kepalan tangan besar itu. Zaki menunjukkan muka menahan sakit,
tapi tetap dia upayakan tegar. Pukulan itu disusul dengan pukulan lain di pipi
kiri. Duag!!


Setelah
itu, mereka bergiliran mempraktekkan gaya-gaya wrestling mereka.
Tingkah mereka mirip aktor-aktor gulat dalam tayangan WWF Smackdown. Dengan
riang mereka mempermainkan Zaki sebagai sasaran mereka. Bantingan, kuncian,
pukulan. Bahkan ada yang mengeluarkan supplex,
bantingan dengan menjatuhkan diri ke belakang, dengan mengangkat lawan dari
belakang terlebih dahulu! Bantingan yang menjadikan kepala bagian belakang dan
punggung sebagai sasaran aduan dengan lantai.


Selanjutnya
.... aku tidak bisa me
lihat
dengan jelas. Rasanya ngantuuk sekali.
Kantuk mulai kurasakan sejak aku selesai makan malam, dan sekarang
tampaknya mencapai puncaknya.
Kuusahakan memicingkan mataku, tapi sia-sia. Serangan kantuk ini tak
tertahankan. Dan ....


Kini aku berada di jalan depan rumahku. Di
sebelah selatan, sawah terbentang luas dengan tanaman padi nan menghijau. Dibeberapa
arah pandangan, tampak gerombol-gerombol pepohonan. Pepohonan di kampung lain.
Jauh di selatan, pegunungan kidul yang membentang dari timur ke barat, hijau
tua kebiruan. Dalam keadaan biasa, aku bisa menyebut pemandangan di sebelah
selatan desaku adalah salah satu pemandangan terindah yang pernah kulihat.
Namun sekarang rasanya sangat berbeda. Meski masih terasa keindahannya, namun
keindahan yang mencekam. Langit gelap tertutup awan hitam nan tebal. Di
beberapa tempat tampak berwarna kemerah-merahan merekah. Langit serasa mau
runtuh. Kilat berkali-kali menyambar bagai cambuk listrik raksasa.


Di kaki langit sebelah selatan, awan hitam
turun perlahan. Turun dengan bentuk kerucut terbalik. Mula-mula besar, makin
dekat ke permukaan bumi makin kecil dan runcing. Terjadilah sebentuk benda
vertikal yang bergoyang-goyang, meliuk-liuk bagai sedang menarikan tarian maut.
Makin lama makin jelas bentuknya, seperti kerucut dengan ujung di bawah,
ramping, berwarna hitam. Dari ujungnya tampak sesuatu seperti beterbangan ke
atas. Masya Allah, jangan-jangan itu
.... angin puting beliung!!


Aku berteriak sekeras-kerasnya ”Angin puting
beliuuung!!”. Aku berlari ke dalam rumah untuk memberitahu semua bahwa ada
angin puting beliung yang bergerak dari selatan. Semua anggota rumah
berhamburan keluar untuk melihat sudah sejauh mana dia bergerak, jika mulai
mendekat maka semua harus segera menyelamatkan diri.


Sesudah
kami keluar .... ternyata memang angin itu semakin besar. Meski jaraknya masih cukup
jauh, beberapa kilometer di selatan namun kami waspada. Beberapa benda penting
disiapkan untuk diselamatkan. Aku pernah mendengar, bahwa angin seperti ini
kecepatan geraknya bisa mencapai sekitar tigapuluh kilometer per jam. Itu
berarti, jika angin itu bergerak ke utara, dengan jarak sekitar enam kilometer
ini dalam sepuluh hingga duabelas menit angin itu akan menghancurkan kampung
kami.


Dari
jauh tampak benda-benda beterbangan bak anai-anai yang berhamburan. Tersedot ke
atas, seperti penyedot raksasa yang membawa ke dunia lain yang gelap. Aku
membayangkan ada yang mengendalikan penyedot raksasa itu untuk membersihkan
kotoran-kotoran di muka bumi. Kotoran yang disebabkan ulah manusia yang tidak
taat pada Tuhan mereka. Atau kotoran itu justru manusia-manusia itu sendiri,
yang telah punya sesembahan-sesembahan baru, yang telah mengesampingkan Tuhan
yang sebenarnya demi kepuasan keduniawian mereka.


Beberapa
menit kemudian, tarian hitam yang mengerikan itu sudah berangsur-angsur
menghilang. Sekarang digantikan dengan kilat dan guntur yang semakin menggelegar.
Hujan pun mulai turun.
Mula-mula rintik-rintik tapi makin lama makin deras. Butir-butir air yang besar
menerpa permukaan bumi dan segala apa yang ada di atasnya, membekaskan rasa
panas di kulitku.
Kami segera
beranjak untuk masuk ke rumah, berlindung dari guyuran hujan.


Sebelum
sampai di pintu, aku lihat pendar cahaya merah di dinding. Apa ini? Aku segera menoleh ke arah selatan. Itu ... Belum selesai aku berfikir ketika melihat kilatan benda
berwarna merah meluncur sangat cepat ke bawah, terdengar suara berdegum keras.
Jlegguur! Belum hilang bekas lintasan benda itu berupa garis kemerahan, suara
itu segera disusul dengan goncangan yang hebat. Serasa tanah yang kuinjak ini
mengajakku meloncat-loncat. Kami berteriak ”Allaahu
akbar
... Allaahu akbar ... Allaahu
akbar
!!” beberapa kali. Para penduduk
berteriak panik.


Goncangan
gempa hanya terjadi beberapa saat, namun keras, dibarengi suara berderak.
Beberapa rumah tetangga roboh!!
Alhamdulillaah, rumahku selamat. Beberapa saat kemudian kuarahkan
mataku kembali ke arah selatan. Masih cukup jelas bekas lubang merah di awan
hitam sebelah selatan, bekas benda jatuh tadi. Tapi sebentar, a
pa itu, warna putih menyelimuti pegunungan?


Aku
mencoba berfikir, tadi ada benda merah meluncur ke bawah, disusul suara
berdentum keras. Tidak mungkin! Jangan-jangan tadi itu meteor yang jatuh di laut selatan, lalu menimbulkan goncangan
hebat. Bila sumber goncangan ada di laut, ditambah daya jatuh meteor tadi,
pastinya menimbulkan gelombang tsunami yang besar. Gila!! Jangan-jangan, yang
menyelimuti pegunungan itu ... air!! Astaghfirullaah, apakah kiamat sudah
terjadi sekarang ya Allah ..?


Dengan
tanpa sadar bibirku bergumam, ”Ya Allah, ya Rabbi. Itu ... tsunami yang sangat
besar. Apa kiamat telah benar-benar terjadi, ya Allah? Ataukah ini hanya
bencana biasa dari-Mu sebagai peringatan bagi kami yang sering melupakan-Mu?”
Kakakku yang berada di sampingku agaknya mendengar gumamanku.


”Apa
kamu bilang? Itu tsunami? Sebesar itu? Berarti tidak lama lagi airnya akan
sampai di tempat kita. Ayo menyelamatkan diri!” ajaknya.


Segera
saja ada orang yang meneriakkan ”tsunami!!”. Maka spontan semua warga berlari
dengan paniknya. Ada yang masih membawa piring, macam-macam barang yang sedang
dipegang saat goncangan masih ada di tangan. Tanpa sadar, karena saking
paniknya, mereka bawa lari. Bahkan ada yang belum berpakaian lengkap.


Ada
seorang gadis yang saat terjadi gempa sedang mandi, lalu saat gempa belum
sempat berpakaian karena begitu paniknya, kemudian sekarang harus lari dari
ancaman tsunami. Tampaklah segala bagian auratnya. Entah kenapa bisa-bisanya pikiran
nakalku sempat bekerja ”... ada gadis cantik berkulit putih mulus berlari-lari
tanpa busana. Baru kali ini aku melihatnya...”. Aku berusaha memalingkan muka,
tapi rasanya sulit sekali menghindar dari memandangi gadis itu.
Kucoba menggerakkan otot leherku, tapi
leherku serasa kayu, sangat kaku.
Secara otomatis kepalaku terpaku menikmati pemandangan itu hingga gadis itu
hilang dari pandangan. Kenapa tubuhku menjadi
sulit kukendalikan
? Batinku.


Hampir
tiap orang lupa akan keadaannya. Yang ada di pikiran hanya lari menyelamatkan
diri, lari ke arah tempat yang tinggi. Tiap orang tampaknya memiliki tujuan
yang sama, Bukit Gunung Buntung. Mungkin aku menjadi salah satu dari beberapa
orang yang masih memiliki kontrol kesadaran. Kucoba menyatroni desa, siapa tahu
ada yang belum sempat lari menyelamatkan diri. Sok pahlawan sekali aku.
Akibatnya aku yang paling akhir berupaya menyelamatkan diri. Padahal, ketika
aku melihat ke arah selatan, air tinggal beberapa ratus meter dariku.


Kupercepat
lariku, namun rasanya kecepatan lariku justru melambat. Aduh, kenapa lagi kakiku ini? Aku berupaya menambah kecepatan lagi,
tapi tetap justru makin perlahan, seperti tayangan ulang dalam gerak lambat. Kulihat
sekeliling, sudah tidak ada manusia satu batang hidung pun. Tinggal aku
sendiri. Aku menoleh ke belakang, air bah yang dahsyat beserta barang bawaannya
tinggal beberapa puluh meter. Aku mempercepat lari, tapi seperti sebelumnya,
lariku malah semakin lambat. Tak ayal lagi, jelas aku tidak kuasa menandingi
kecepatan arus air yang luar biasa cepatnya. Gelombang air itu tinggal beberapa
meter dariku dan ....”aaaa.....!!!”


Tes!
Tes! Tes!


Tetesan
air di hidungku membuatku terjaga. Astaghfirullaah
... ternyata cuma mimpi. Aku mendengarkan rintik hujan di atas genting rumahku.
Aku merasakan air menyentuh kakiku yang berada di lantai. Ketika ingat bahwa
saat hujan sering terjadi bocor, aku mulai sadar sepenuhnya dan melihat
sekeliling. Astaga! Kulihat bapak, ibu dan kakak berlarian sambil membawa
ember, untuk menadah air yang masuk dari genting yang bocor. Talang air pun
tampaknya tidak mampu menampung air, biasanya karena tersumbat sampah, sehingga
air tumpah dan masuk ke rumah.


Aku
segera meloncat untuk membantu. Kuambil karung goni untuk menahan air supaya
tidak menyebar ke mana-mana. Ayah menyapu air dengan sapu lidi, membuangnya
keluar. Ember yang sudah penuh segera dibuang airnya. Memang serepot itu jika
talang air penuh dan airnya tumpah. Tapi tampaknya usaha kali ini sia-sia saja.
Bukannya air bisa dibuang keluar, sekarang justru air dari luar rumah masuh ke
dalam rumah. Ketika kami melihat keluar rumah, mengecek kondisi sekitar
ternyata halaman rumah sudah tergenang air!


Aku
bingung, dari mana air-air ini? Setahuku rumah dan desa kami tidak berada di
dekat sungai besar, tapi mengapa sampai ada genangan air segini banyaknya?
Seperti tanda-tanda terjadi banjir.


Benar
saja, beberapa saat kemudian air pun segera meninggi. Kami segera berupaya
menyelamatkan benda-benda yang cukup berharga untuk diletakkan di tempat yang
lebih tinggi. Kami baru dapat menyelesaikan pekerjaan itu saat air sudah
setinggi di atas lutut. Dan ternyata ketinggian air semakin bertambah dengan
cepat. Saat air mencapai setinggi selangkangan orang dewasa ....


Aku membuka mataku. Astaghfirullaah, ternyata ini juga mimpi. Tapi... rasanya ada yang beda deh. Kuraba-raba
celanaku. Basah. Kucium bau air itu. What??
Ini bukan air biasa…. air ini baunya pesing. Jadi, aku.… Whuaaa…..!! ***




Malam Kamis, 14 Februari 2007


Tidak
diambil dari kisah nyata.


Eh,
malam-malam jangan kebanyakan minum es teh! J





Ah, Jika saja Mereka Tahu…

            

Oleh : Cahya Herwening

Assalaamu ’alaykum...” tidak terdengar salam dari musholla bagian putri. ...............................Tidak ada jawaban. Gak kedengeran sih!


            Thok...thok...thok.....!!


            “Assalaamu ‘alaykum....” kali ini
terdengar, karena lebih keras dan didahului ketukan keras pada hijab pembatas.


            “Eh....
Wa ’alaykumussalaam wa rahmatullaah...”
jawab Hasan setelah bergegas mendekati sumber suara.


            “Ini siapa ya?” sambut suara yang sama
dengan yang mengucap salam.


            “Lho??”
Hasan mengerutkan kening, “...lha kamu nyari
siapa, kok malah nanya?”


            “Emm.... ini Rena sama Maya. Yang di situ siapa?” sahut suara yang
mengaku bernama Rena.


            Hasan
manggut-manggut, ”Oo Rena..., saya Hasan.
Ada apa?”


            ” Mmm... Pak Hasan, boleh minta bantuan ndak?” tanya Rena.


            ”Ada
apa?” tanya Hasan. Agak merasa aneh, malam-malam seperti ini kok masih ada anak
perempuan ’berkeliaran’ di kampus.


            ”Boleh
minta bantuan kan?”


            ”Iya...iya...,
langsung aja to. Ada apa sih?” sergah
Hasan, agak mulai tidak sabar.


            ”Gini,
Pak. Ini kan sudah malam, kan nggak
baik bagi akhwat kalau malam-malam di jalan. Bisa minta tolong dianter nggak?” jawab Rena.


            ”Eh...iya, kok bisa, malam-malam begini kalian
masih di kampus? Sudah hampir jam sembilan lho.” Yang ditanya balik bertanya.


            ”Tadi
kan praktikum, lama soalnya sempat ngulangi
eksperimennya, prosedurnya ada yang salah sih. Selesainya sekitar setengah
delapanan. Lalu membahas laporan sementara dan perhitungan.
Jadi ya sampai jam segini. Pak Hasan bisa
nganter kami kan?” Rena menjelaskan keadaan mereka. Dari tadi Rena terus yang
bicara. Sepertinya memang jadi juru bicaranya nih. Eh, ngerasa ada yang janggal nggak
sih, Hasan yang masih muda gitu
dipanggil ’Pak’? Tidak ada penjelasan khusus mengenai ini sih, cuma kebiasaan anak-anak musholla aja kalau memanggil yang laki-laki dengan sebutan Pak.


            Hasan
berpikir sejenak, ”Hmm... dianter ke mana ya?”


            ”Ke
Daarus-Sholihat....” jawab Rena. Daarus-Sholihat (DS) adalah salah satu
pesantren mahasiswi di Yogyakarta, letaknya cukup dekat dengan kampus UGM. Setiap
tahun ada saja mahasiswi yang sekaligus menjadi santri di pesantren ini. Sampai
saat ini pesantren mahasiswi itu masih di bawah pengelolaan dan pembinaan
Ustadz Syathori Abdurrouf. Kalau tidak salah slogan pesantren itu seperti ini;
”Melabuh Damai Menggapai Ridhlo Ilahi”. Keren yah?


            ”Ooo...mmm...
emangnya harus dianter ya?” tanya Hasan
kayak orang bego.


            ”Iya, kan nanti lewat persawahan juga, di sana
tuh gelap dan sepi. Nanti kalau....” kembali Rena menjelaskan kekhawatiran jika
mereka berjalan sendiri tanpa ada yang mengawal.
Kemungkinan bahaya yang ada memang cukup besar.


            ”Eh...kan
bisa lewat utara kan? Lewat Jakal lalu Ring road, kan ada jalan serong ke kiri
tuh yang tembusan selokan. Ke Daarus-Sholihat bisa lewat sana kan?” Ah, kayaknya Hasan emang bodoh tuh.


            Entah
kenapa Hasan saat itu kurang sensitif. Terlalu bertele-tele, tidak sigap dalam
memberikan bantuan. Padahal dalam keadaan seperti itu, harusnya dia langsung
tanggap, bahwa keselamatan wanita dipertaruhkan. Secara hukum syar’i, wanita
kan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi mahramnya. Apalagi ini
malam-malam, sudah cukup larut lagi. Seharusnya dia sadar akan hal itu kemudian
segera mengantar mereka tanpa banyak bicara lagi. Mungkin sedang lupa. Tapi,
bisakah dimaklumi?


            ”Eh...
saya kan sama Larso nih...
kalau
Larso aja yang ngantar gimana?” Huuhh... kok Hasan ’jual mahal’ banget sih? C
uma diminta nganter gitu aja kok...


            Hasan
segera mendatangi tempat Larso sedang duduk santai. ”Hei... Larso, bisa nggak nganter Rena sama Maya, ke
Daarus-Sholihat?”


            ”Di
mana tuh Mas?” tanya Larso. Mukanya terlihat gimana gitu, kelihatan banget kalau nggak minat, alias keberatan bin
tidak mau.


            Hasan
segera menjawab, ”Dekat Ring Road, Jakal ke Barat. Nanti kamu ngikutin mereka aja. Arah rumah kamu juga ke sana kan?”


            ”Eh...nggak je Mas, saya ke selatan tuh.”
sahut Larso.


            ”Tapi
bisa kan?” Hasan bertanya dengan agak menekan.


            ”Emmm... Mas aja deh. Kan sudah tahu tempatnya.” Larso menyatakan ketidak
sanggupan, dari tadi mukanya menyiratkan kalau memang tidak mau.


            Hasan
berfikir sebentar. ”Ya sudah, biar aku saja.” Segera Hasan kembali ke tempat
dua cewek kemaleman tadi menunggu. Tidak kelihatan kayak apa wujud mereka, soalnya memang di musholla itu dipasang hijab, untuk menghalangi pandangan antara
bagian putra dan bagian putri.
Kata anak-anak musholla, menjaga pandangan tuh perintah Allah, apalagi di tempat ibadah seperti ini. Biar
hati dan niat kita lebih bersih. Begitu kata mereka, yang lebih sering memakai
istilah ghadul bashar daripada
menjaga pandangan. Kalau orang awam yang gak
ngarti al lughotu al Arabiyyah
(baca aja : bahasa Arab), bisa-bisa kepleset jadi ”gundul bagor”. He...
he... he..... bodoh!


            ”Rena...”
panggil Hasan.


            ”Ya?
Gimana, Pak?” tanya Rena dengan nada berharap.


            ”OK.
Biar saya deh, yang akan nganter kalian,
saya tunggu di gerbang depan ya?” Akhirnya... Hei Hasan, dari tadi kek, mau nganternya. Apa sih yang bikin
lu
bodoh kayak tadi??


            ”Alhamdulillaah....” kata mereka
bersamaan, terdengar lega. ”... kami ngambil
motor di parkiran dulu ya.” kata Rena.


            Hasan berjalan menuju gerbang timur fakultas
Teknologi Pertanian (TP) UGM.
Hari itu adalah salah satu hari dimana Hasan harus pulang malam. Jarang
sekali Hasan bisa pulang siang hari, bahkan tidak jarang dia harus rela tidak
pulang alias menginap. Jarak rumahnya
dengan kampus memang lumayan jauh, sehingga kalau sampai terlalu malam, Hasan
memilih menginap. Kalau pulang sia-sia, cuma numpang tidur habis itu paginya harus ke kampus lagi. Gitu katanya.
Semua itu tidak lain karena agenda, tugas dan
tanggung jawab keorganisasian yang cukup meminta waktu. Meski begitu, Hasan
merasa enjoy-enjoy saja. Bahkan katanya, yang seperti itu bisa bikin hidup
lebih hidup, daripada jadi mahasiswa yang saban hari cuma berkutat
kost-kelas-perpus-kantin. Nggak dinamis
tuh
, katanya lagi. Gak tahu, sok jadi aktivis tuh anak.


            Beberapa
saat setelah sampai di gerbang timur fakultas, terlihat pengendara motor
berboncengan. Siapa lagi kalau bukan
Rena dan Maya. Sosok mereka sekarang sudah bisa dilihat, dua orang cewek
berjilbab panjang. Cewek-cewek model begitu yang biasanya jadi aktivis musholla
di kalangan perempuan. Cewek dengan pakaian longgar dan tertutup, mengenakan
jilbab panjang dan lebar hingga sepinggang, bahkan tidak sedikit pula yang
lebih panjang dari itu. Anak-anak musholla menyebut kalangan wanita berpenampilan
seperti itu dengan sebutan akhwat.
Walaupun secara arti kata, akhwat itu berarti saudara perempuan, yang artinya
bahwa setiap perempuan muslim bisa disebut akhwat (karena setiap muslim memang
bersaudara, begitu kata salah satu hadits). Namun dalam prakteknya nyata terasa
bahwa kata itu menunjuk golongan tertentu.


            Biasanya
para akhwat diidentikkan sebagai wanita yang pemahaman keIslamannya lebih baik dari
wanita biasa. Dan juga memiliki kesadaran untuk menyebarkan pemahaman itu
kepada yang lain (berda’wah) melalui berbagai sarana yang ada. Salah satunya
yang pasti lewat Lembaga Da’wah tentunya. Untuk diketahui saja, Lembaga Da’wah
tingkat fakultas di FTP UGM bernama KMMTP. Kepanjangannya sih Keluarga Mahasiswa Muslim Teknologi Pertanian. Panjang yach?


            Ketika
melihat mereka, segera Hasan berseru, ”Kalian duluan saja. Nanti tunggu saya di
gerbang utara di dekat fakultas Pertanian. Saya akan ke sana. Nanti saya ngambil motor dulu di kost teman.” Kemudian
Hasan berjalan menyusuri jalan beraspal di sebelah timur FTP ke arah utara. FTP
UGM berada satu komplek dengan beberapa fakultas lain pada rumpun yang sama,
rumpun Agrokompleks. Di sebelah timur FTP ada fakultas Pertanian, sedang di
sebelah utaranya ada fakultas Kehutanan.


            Setelah
sampai pada tempat yang dijanjikan, Hasan bertanya-tanya dalam hati, kok dua
orang tadi nggak ada?
Ke mana mereka? Jangan-jangan mereka tidak paham yang kumaksud, pikir Hasan. Tiba-tiba
HP-nya ber-tat-tit-tut, sebuah SMS masuk.


            ”Kami
tunggu di perempatan Jakal.”
Begitu bunyi SMS itu.


            Lho, tadi kan kusuruh nunggu di sini.
Gimana sih? Tapi OK deh, aku akan ngambil motor ke tempat Budi dulu
, Hasan membatin. Hasan tidak bisa membalas SMS, soalnya pulsanya
emang lagi bokek.
Biarlah
mereka menunggu sebentar
,
pikirnya. Setelah sampai di kost temannya, Budi, sambil ngobrol sedikit Hasan meminjam motor temannya sekalian.
Sebenarnya motornya pun di sana, tapi
karena lampu depan motornya mati, dan nanti juga mau pulang ke rumah, jadi
butuh motor yang lebih terjamin keamananannya.


            Setelah
pamit, Hasan berangkat secepatnya menyusul kedua akhwat tadi. Setelah sampai di
Jakal, Hasan menjalankan motor lebih pelan, mengamati di sepanjang Jalan
Kaliurang terutama di tiap perempatan. Hasan bingung, perempatan yang mana ya? Hasan
masih terus mengawasi hingga sampai ke Ring Road, kemudian belok ke kiri dan
mau masuk jalan serong. Eh, sepertinya ada bunyi tat-tit-tut. Dengan segera Hasan
mengecek HP-nya.


            ”Terima
kasih! Kami sudah sampai. Ternyata ikhwan TP nggak peka sama
keselamatan akhwat! Maaf sudah merepotkan!! ” begitu kata-kata dalam SMS itu.


            Degg!! Hasan tertegun. Membaca
ulang isi SMS itu. Hasan coba mengingat apa saja yang terjadi tadi. Beberapa
saat kemudian muncul perasaan menyesal dan sedikit terpukul dalam dirinya.
Mengapa tadi tidak segera meluluskan permintaan bantuan itu, tidak malah justru
bertele-tele dan terkesan berkeberatan? Padahal, seharusnya dia ingat bahwa
menjaga saudaranya, khususnya yang perempuan, adalah salah satu kewajibannya
selaku seorang laki-laki yang prioritas. Hasan sangat menyesal akan hal ini,
mengetahui bahwa akhirnya dua akhwat tadi harus pulang sendiri, mengetahui
bahwa bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun sekarang dia
sudah tahu bahwa mereka telah sampai dengan selamat. Tapi bagaimana dengan Maya,
dia belum tahu, soalnya dia tinggal di rumah sendiri, bukan di DS. Maya pun
hanya mengantar Rena, sedang rumahnya sendiri ada di Jakal (jalan Kaliurang) beberapa
kilometer dari Ring Road ke utara.


            Hasan menyesal, mengapa tadi mempersulit urusan. Juga mengapa tadi tidak
menjelaskan mekanismenya dengan jelas. Padahal
aku tadi sudah berniat mengantar mereka, tapi mungkin mereka kurang memahami
apa yang kukatakan tadi
, pikirnya. Meski tadi bersikap acuh dan terlihat
keberatan, sebenarnya di dasar hatinya, ada rasa cinta yang begitu besar pada
saudara seaqidahnya, tentu termasuk dua akhwat tadi. “Ah, jika saja kalian
tahu, bahwa aku rela mempertaruhkan nyawaku ini demi membela keselamatan dan
kehormatan kalian…” rutuk Hasan. ***





20
Desember 2006


Ambillah
pelajaran ini Akh!