Wednesday, May 30, 2007

KolomKita.Com - kumpulan cerpen, puisi dan cerita-cerita kehidupan

http://www.kolomkita.com/
Website ini menampung tulisan dari anggota yang sudah mendaftar, terutama untuk tulisan-tulisan fiksi maupun faksi. Tapi tidak jarang banyak kisah-kisah nyata juga.

Saya sudah mendaftar dan baru mengirim dua tulisan, semuanya dimuat. Coba aja kirim tulisan ke sana, karena tulisan-tulisan yang ada akan dikompetisikan secara periodik. Dan yang menang akan mendapat penghargaan.

Friday, May 25, 2007

Jika Bintang itu Seorang Akhwat?


Oleh : Cahya Herwening

"Orang besar tidak hanya menatap dan mengagumi bintang di langit, tetapi juga berusaha meraih dan berhasil mengambilnya."
Untaian kata yang membentuk kalimat indah di atas pernah saya dapatkan dari seseorang. Memang, kalam hikmah itu terasa dapat menyemangati dalam meraih impian, yang biasanya impian dan cita-cita itu tinggi, setinggi bintang di langit. Maka begitu pulalah yang saya rasakan ketika mencoba menyelami kandungan makna kalimat itu. Siapa sih yang nggak ingin jadi orang besar? Masak jadi orang kerdil terus sih??
Tapi ... tapi nih..., ketika merenungkannya, saya jadi ragu apakah benar kalimat tersebut dapat diimplementasikan secara umum pada semua hal? Memang cukup tepat sih, apabila "bintang" pada kalimat tersebut dimaksudkan sebagai cita-cita yang tinggi dan harapan mulia kita, atas pencapaian diri dalam kehidupan. Tapi apakah berlaku juga untuk 'bintang' yang lain? Bintang yang bagaimana coba? Tau nggak apa?? He...he...he...^^
Ehm... ehm.... seperti biasa, otak iseng saya segera bekerja ketika ada sesuatu hal yang cukup menggelitik. Terbersit pertanyaan iseng dalam pikiran seperti ini: "Apa jadinya jika 'bintang' itu adalah seorang akhwat?" !^^ v
Sepertinya hanya pertanyaan biasa kan? Di mana sih letak keisengannya? Pada nggak tahu kan? Nah, mau tahu??
Begini. Bagi seseorang yang berpartisipasi dalam suatu jamaah dakwah, mestinya ada semacam prosedur atau peraturan dalam kehidupan berjamaahnya. Katakanlah semacam adab-adab berinteraksi dengan jama'ah, bagaimana sih memposisikan diri dalam jama'ah agar apa yang kita lakukan tetap berada pada koridornya. Termasuk adab ketika ingin melengkapi setengah diennya (baca: menikah).
Seorang anggota jamaah yang mengikuti adab-adab itu, dalam pernikahannya tidak bisa semaunya. Tidak bisa, misalnya, dengan terlebih dulu mengincar (kayak sniper aja...^^) siapa yang ingin dinikahinya, hanya dengan mengandalkan asumsi maupun penglihatan lahir yang dimilikinya. Ini ditujukan agar nilai pernikahan sebagai ibadah dan juga orientasinya sebagai bagian dakwah tetap murni dan terjaga keberkahannya. Penjagaan kemurnian ini salah satunya dengan menjaga agar sebelum dan dalam proses pernikahan, mencegah (paling tidak meminimalkan) adanya faktor-faktor yang dapat membuat proses tidak sehat. Juga dengan usaha agar terjamin adanya kesetaraan kualitas masing-masing calon, khususnya kesetaraan kualitas.
Sehingga di sini dibutuhkan semacam 'lembaga khusus' yang menangani masalah nikah-menikah ini. Yang lembaga tersebut dapat memiliki akses mengenai data valid kedua calon, dan dapat mencarikan mana pasangan calon yang cocok, tidak hanya mengandalkan asumsi dan mata lahir, namun juga data, fakta dan bashiroh. Meski proses semacam itu tidak mutlak, namun rasanya menjadi salah satu bentuk ikhtiar yang direkomendasikan, untuk merealisasikan sebuah term : "Di Jalan Dakwah Aku Menikah" (seperti judul salah satu bukunya Ust. Cahyadi Takariawan^^).
Maka ketika ada pernyataan seperti awal tulisan ini, bahwa "orang besar tidak hanya menatap dan mengagumi bintang di langit, tetapi juga berusaha meraih dan berhasil mengambilnya", pertanyaannya adalah, untuk menjadi orang besar, apakah semua macam bintang itu harus diraih? Apakah berlaku juga ketika yang menjadi 'bintang' itu adalah seorang akhwat? Masihkah sesuai dengan koridor adab berjama'ah jika kita berusaha meraih dan mengambil 'bintang' (baca: akhwat) yang kita kagumi? Terus, apa sebaiknya memilih tidak perlu menjadi 'orang besar' saja^^?
Nah, pertanyaan-pertanyaan itu butuh jawaban dan tanggapan, meski saya punya kesimpulan sementara, yakni bahwa untuk menjadi orang besar tidak harus meraih semua “bintang”. Maka dimohon dengan sangat kepada anda yang telah membaca tulisan ini untuk memberikan komentar, menjawab maupun menanggapinya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih. ^^ Monggo, silahkan ditanggapi.....

Monday, May 21, 2007

Saya Suka Jepang (2) : Mentalitas Kaum Muslim Ada Pada Bangsa Jepang


Oleh : Cahya Herwening


Tulisan kedua dari rangkaian jawaban atas pertanyaan teman: "Antum suka ma hal-hal yang berbau Jepang ya? Nama blog Shirotsuya, apakah punya makna tersendiri buat Antum?" Beserta juga alasannya, yang bukan asal alasan seperti tulisan pertama ^^. Namun alasan yang didasari oleh pemahaman tentangnya, meski mungkin sedikit.
Apakah saya suka hal-hal tentang Jepang, kembali akan saya jawab "iya". Tapi tentunya kesukaan itu tidak membabi buta pada segala hal, namun dilatar belakangi hal-hal tertentu yang menjadi kelebihan utama dari negara ini. Saya tahu, setiap hal tentu ada sisi kekurangan dan kelemahannya. Namun, sebaliknya pasti juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Termasuk di sini negara Jepang itu sendiri.
Kesukaan mestinya dikarenakan oleh rasa berkesannya kita kepada sesuatu, yang kemudian dari rasa kesukaan itu dapat meningkat menjadi kekaguman. Terus terang saja, mungkin saya tidak hanya suka pada Jepang tapi juga kagum. Kagum tentang apa? Ada beberapa hal yang membuat saya kagum kepada negara kepulauan yang terletak di sebelah timur semenanjung Korea itu. Khususnya kagum terhadap karakter yang dimiliki oleh bangsa Jepang, yang membuat Jepang menjadi salah satu negara maju yang memimpin di bidang IPTEK. Bangsa mereka memiliki karakter-karakter unggul yang dibutuhkan setiap bangsa untuk maju. Terlebih lagi bagi kaum Muslimin, karena sesungguhnya karakter dan mentalitas itu telah tertuang dalam kitab suci mereka (Al Qur'an) dan sabda Nabi mereka (Hadits). Maka seharusnyalah bagi kaum Muslimin untuk memiliki karakter-karakter dan mentalitas ini.
1. Kedisiplinan yang Sangat Tinggi
Kedisiplinan merupakan salah satu karakter yang paling terkenal dari bangsa Jepang. Dan memang seperti itulah adanya. Dalam contoh kecil, pernah ada yang bercerita ketika orang Jepang ada janji dengan seseorang, maka paling tidak sepuluh menit sebelum waktu yang disepakati dalam janjian itu sudah ada di tempat janjian. Kedisiplinan bangsa Jepang juga terlihat dalam budaya antri, mentaati peraturan lalu lintas, peraturan perusahaan, sekolah, dan peraturan lainnya. Contoh lain dalam hal-hal sepele, adalah dalam membuang sampah.\
Di Jepang, antara kedisiplinan dan sekolah sangat erat keterkaitannya. Di sana, disiplin dalam berlalu lintas diajarkan sejak TK. Secara teratur ada polisi wanita yang mengunjungi sekolah, untuk menggelar simulasi, bagaimana perilaku yang harus dibangun ketika di jalan. Anak-anak yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas disebut manusia, yang tidak melanggar rambu-rambu disebut monyet. Simulasi tersebut memang sederhana. Akan tetapi, konon menjadi akar dari kepatuhan masyarakat Jepang terhadap peraturan lalu lintas.
2. Tekun dan Pekerja Keras
Bangsa Jepang adalah bangsa yang terkenal dengan etos kerja yang tinggi. Kesibukan dalam kerja-kerja hariannya begitu tinggi, hampir 12 hingga 15 jam kerja setiap harinya. Mereka bekerja dengan sangat giat bahkan sangat terkenal sebagai bangsa yang gila kerja (workaholic).
Bagi mereka, bekerja bukanlah semata-mata kerja, namun juga merupakan kesenangan, sehingga mereka sangat enjoy terhadap pekerjaan mereka. Maka seringkali mereka hampir lupa pulang ke rumah, dan suka di kantor atau tempat kerja lain hingga larut malam untuk lembur. Meski tidak semua seperti itu sih.
3. Keinginan untuk selalu Belajar dan Selalu Memperbaiki Hasil Kerja
a. Semangat Perbaikan yang Terus-menerus (Sustainable Improvement)
Masyarakat Jepang memiliki budaya organisasi yang disebut "Kaizen", artinya "penyempurnaan berkesinambungan". Misalnya dalam aktivitas produksi (kalau dalam perusahaan) yang telah dilakukan, maka akan senantiasa ada evaluasi secara periodik, dan dilakukan perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan yang ada. Sehingga pada periode-periode berikutnya akan semakin terjadi penyempurnaan.
Di negara kita, sebenarnya juga ada budaya organisasi berupa evaluasi terhadap apa-apa yang telah dilakukan. Namun seringnya, hasil evaluasi itu tinggal hasil evaluasi belaka, tidak digunakan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Sehingga seringkali kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan terulang kembali.
b. Minat Baca dan Tulis Tinggi
Kegiatan belajar tak akan lepas dari keberadaan buku. Entah itu membacanya, atau menulisnya. Dan bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki kualifikasi yang tinggi terkait hal ini, yakni memiliki minat baca dan minat menulis yang sangat tinggi. Kebiasaan baca mereka terlihat di keseharian, ketika di densha (trem), shinkansen, bus, stasiun, terminal, dan tempat lain, kebanyakan mereka membawa buku dan membacanya.
Begitu juga dalam menulis, banyak sekali jenis buku yang ada di sana, dan juga jenis penulisnya. Banyak penulis-penulis amatir yang bukunya diterbitkan oleh penerbit karena memang dirasa bagus. Misalnya, ada ibu rumah tangga yang menuliskan tips pindah rumah yang efisien, teknik menanak nasi yang enak, dan sebagainya. Tulisan-tulisan mereka berdasarkan pengalaman pribadi, dan juga riset kecil-kecilan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini tak lepas dari kebiasaan riset mereka.
Di Jepang produksi buku per tahun 60.000-70.000 judul buku. Sebagai gambaran, saat ini produksi buku di Indonesia 7000-10.000 judul buku pertahun, padahal dilihat dari perbandingan jumlah penduduk, penduduk Indonesia jauh lebih banyak dari penduduk Jepang.
Jumlah toko buku di Jepang sama dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat, padahal Amerika Serikat dua puluh enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada Jepang. Toko buku adalah salah satu tempat yang paling sering dikunjungi. Jika supermarket dan toko lain di Jepang biasanya tutup pukul 20.00, toko buku biasanya masih tetap buka hingga larut malam. Banyak pengunjung yang sekadar tachi-yomi, atau berkunjung dan membaca buku di sana, belum tentu membeli. Rasanya hal itu cuma mengotori pandangan toko buku sih (istilah Jawanya, nyepet-nyepeti mata^^), tapi kenyataannya ada pengaruh terhadap buku yang terbeli oleh pengunjung juga. Makanya pemilik toko buku tidak risih melihat banyak yang hanya tachi-yomi^^.\
Angka melek huruf (literacy rate) di Jepang mencapai 99 persen. Oleh UNDP (United Nations Development Programme), angka melek huruf telah dijadikan salah satu indikator untuk mengukur kualitas bangsa. Tinggi rendahnya angka melek huruf menentukan tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia atau HDI (Human Development Index); dan tinggi rendahnya HDI menentukan kualitas bangsa.
c. Sistem Pendidikan yang Baik Beserta Faktor Pendukungnya dan Sense Penelitian yang Tinggi
Bisa dikatakan bangsa Jepang adalah kaum peneliti, karena sejak kecil sudah dibiasakan sense penelitian dibangun dalam diri generasi muda. Misalnya ketika liburan sekolah ada penugasan melakukan penelitian bertema bebas, yang kemudian dibuat laporannya dan dipresentasikan di depan kelas setelah sekolah masuk. Bagi yang hasil penugasan dan presentasinya paling baik (menarik) akan mendapat penghargaan dari guru.
Semua level pendidikan di sana mendasarkan pada pengembangan riset dan IPTEK. Termasuk perguruan tinggi yang selain menjadi penghasil SDM spesialis, juga menjadi lembaga penelitian pusat dihasilkannya inovasi-inovasi teknologi. Apalagi didukung pemerintah dengan anggaran pendidikan yang tinggi, yang untuk keperluan penelitian saja negara menganggarkan 20% dari keseluruhan anggaran. Apalagi jumlah peneliti di Jepang hampir sepertiga jumlah peneliti di dunia, sekitar 730.000 peneliti berkumpul di sana!
Selain dukungan pemerintah, pihak industri pun tak ketinggalan menjalin kerjasama, yang dikenal dengan san-gaku-renkei (san berarti industri, gaku berarti dunia akademis, dan renkei berarti kerja sama). Media juga memiliki peran penting di sana untuk sosialisasi IPTEK. Media bukan hanya sarana hiburan, namun juga sarana pendidikan. Banyak acara di TV Jepang berupa kuliah-kuliah dari para profesor dari pelbagai bidang. Di televisi dan media cetak, berita perkembangan IPTEK dan sosialisasi hasil penelitian selalu disajikan, dan memang menjadi ujung tombak pemasaran media-media tersebut. Karena IPTEK bagi bangsa Jepang adalah tulang punggung perekonomiannya.
Sebagai gambaran sederhana tentang bagaimana kreativitas dan inovasi bangsa Jepang, dapat dilihat pada acara "Masquerade", yang juga ditayangkan oleh salah satu TV swasta di Indonesia. Banyak sekali peserta lomba yang memiliki ide unik, sangat kreatif dan inovatif untuk membuat pertunjukan dari manusia. Contohnya bisa dilihat di sini dan di situs ini juga ada, di sini.
4. Sikap Bertanggung Jawab dan Sifat Malu yang Tinggi
Bangsa Jepang adalah bangsa yang memiliki sikap bertanggung jawab yang tinggi, disertai rasa malu yang tinggi, khususnya jika melakukan kesalahan atau tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik. Meski bentuk pertanggung jawaban itu seringkali dilakukan dengan tidak benar menurut Islam (dengan bunuh diri, tingkat bunuh diri di Jepang tergolong paling tinggi), namun dari aspek kualitas pertanggung jawabannya menunjukkan tingkat sangat tinggi.
Dari rasa bertanggung jawab dan sifat malu yang tinggi inilah, implikasi dalam membentuk jati diri bangsa yang "knowledged community" sangat besar. Katakanlah misalnya, dalam masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dan sebagainya. Termasuk sikap mereka dalam berlalu lintas sebagai contoh paling sederhana. Orang Jepang lebih suka memilih menggunakan jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tak ada lagi kendaraan yang lewat. Bagaimana mereka secara otomatis membentuk antrian di setiap keadaan yang membutuhkan, contohnya dalam pembelian tiket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
5. Sangat Ekonomis, Bukan Pemboros dan Tidak Konsumtif
Ini terlihat di dalam fenomena kehidupan sehari-hari di Jepang, misalnya dalam berbelanja. Pada saat setengah jam sebelum tutup, supermarket atau swalayan di Jepang jauh lebih ramai dari jam-jam biasanya. Karena supermarket di Jepang biasanya akan memotong harga hingga 50% pada waktu-waktu seperti itu. Contoh lain, seorang ibu rumah tangga rela berjalan, mengayuh sepeda atau naik motor lebih jauh untuk ke sebuah toko yang harga barang di sana lebih murah, bahkan hanya 10-20 yen. Yah, gambaran ini bisa kita lihat dari salah satu tokoh anime atau manga Jepang, Misae, ibunya Shinchan (Nohara Shinosuke), yang sangat tajam sensenya terhadap diskon barang atau dalam mencari barang lebih murah.
Sampai segitunya bangsa Jepang. Padahal kalau dilihat, mereka bukanlah bangsa yang miskin. GDP bangsa Jepang tergolong tinggi di dunia. Kita bandingkan dengan bangsa Indonesia yang memiliki GDP rendah, mereka punya sedikit uang saja sudah pusing memikirkan akan dibelanjakan apa dan di mana. Sudah bingung mau shopping di mana, mau beli motor apa, HP merek apa, dan sebagainya.
6. Budaya Kesopanan, Rendah hati dan Menghormati Orang Lain.
Coba, kalau kita ke Jepang, atau ketika di Indonesia berpapasan dengan orang Jepang, kemudian kita pura-pura menabraknya. Maka biasanya secara otomatis mereka akan membungkuk dan mengucapkan "gomennasai" (mohon maaf). Entah yang salah (yang menabrak duluan) siapa, namun dengan cepatnya sebelum kita bereaksi apa-apa, mereka lebih dahulu meminta maaf. Ini hanya contoh kecil, hanya masalah tabrak-menabrak. Hal ini sudah menjadi semacam reflek bagi mereka, untuk meminta maaf di tiap keadaan yang kira-kira tidak mengenakkan orang lain.
Saya teringat pada salah satu film drama Jepang (dorama) berjudul "Friend", di sana tokoh utama wanita bernama Tomoko (Kyoko Fukada) berkali kali meminta maaf kepada Kim Ji Hoon (Won Bin) karena telah melakukan kesalahan. Tomoko berkali-kali mengatakan "gomennasai", dan terus mengikuti Ji Hoon ketika belum dimaafkan.
Sebaliknya jika orang Jepang menerima kebaikan dari orang lain, seperti beberapa bangsa lain, maka berkali-kali mereka berterima kasih, berkali kali mengucap "doumo arigatou". Kalau kita mungkin juga mengucapkan terima kasih, tapi sekali saja dan kedengaran bukan ucapan terima kasih yang tulus.
Mungkin akan lebih panjang dan banyaknya jika kita menggali lebih dalam kelebihan sifat, sikap dan karakter bangsa Jepang untuk dijadikan pelajaran bagi kita. Bukan bermaksud untuk membandingkan, namun sekali lagi untuk diambil pelajarannya. Bangsa Jepang yang jauh dari agama Islam ternyata dalam aplikasi kesehariannya memiliki karakter-karakter yang seharusnya dimiliki kaum Muslimin. Sedangkan Indonesia yang mayoritas Muslim, justru sebagian besar jauh dari sifat-sifat ini.
Meski saat ini Jepang semakin terancam akan kebangkrutan ekonomi, karena ada beberapa negara yang mulai menyusul kemajuan IPTEK Jepang, seperti Korea dan China, tapi minimal kita dapat mengambil sebuah hikmah. Bahwa Jepang yang memiliki sumber daya alam sangat minimal, terletak di daerah rawan bencana, ternyata mampu menjadi nomor satu dalam teknologi di dunia. Itu karena kualitas SDM yang mumpuni dengan pelbagai karakteristiknya. Bagaimana jadinya jika Indonesia yang memiliki SDA berupa bahan tambang mineral, sumber energi, kekayaan laut dan hutan serta kesuburan tanah yang tinggi ini memiliki kualitas SDM seperti Jepang. Indonesia pasti akan memimpin dunia!!
"Sesungguhnya hikmah adalah milik kaum Muslimin. Maka jika seorang Muslim menemukan hikmah itu, dari manapun itu berasal, maka dialah yang paling berhak mengambilnya."
10 Mei 2007
Dari berbagai sumber. Jika ada data
yang kurang tepat, mohon koreksinya.